Tarian sayap terbuka. Fot: Canva.com

Tarian Sayap yang Terbuka

Lena selalu hidup dalam kotak. Bukan kotak harfiah, tentu saja, melainkan kotak imajiner yang ia bangun sendiri di sekelilingnya. Dindingnya terbuat dari ketakutan akan kegagalan, atapnya dari ekspektasi orang lain, dan lantainya dari rutinitas yang monoton. Ia seorang pustakawan, pekerjaan yang ia pilih karena menawarkan ketenangan dan keteraturan yang bisa ia prediksi. Hari-harinya diisi dengan menata buku, mencatat peminjaman, dan sesekali merekomendasikan novel pada pengunjung. Di balik kacamata bingkai tebal dan kepangan rambut yang selalu rapi, Lena adalah seekor ulat bulu yang nyaman dalam kepompongnya, enggan bermetamorfosis.


Kehidupan Lena mulai beriak saat desa kecil tempat ia bekerja memutuskan untuk mengadakan Festival Seni Tahunan. Sebuah acara besar yang melibatkan setiap warga, termasuk Lena. Ia ditunjuk sebagai koordinator pameran puisi, tugas yang langsung membuat perutnya melilit. Puisi adalah tentang emosi, tentang keterbukaan, hal-hal yang Lena selalu hindari. Ia merasa seperti diminta menari di tengah badai, sementara ia bahkan tak tahu cara menggerakkan jemarinya.

Seminggu sebelum festival, ia menemukan sebuah kotak tua di gudang perpustakaan, tersembunyi di bawah tumpukan majalah usang. Di dalamnya, ada sebuah buku harian lusuh dan beberapa sketsa sayap kupu-kupu yang indah, digambar dengan detail yang menakjubkan. Buku harian itu milik seorang wanita bernama Kinanti, pustakawan sebelumnya, yang menghilang secara misterius bertahun-tahun lalu. Kisah Kinanti sering menjadi bisik-bisik warga: ia adalah seniman yang bebas, penari yang lincah, selalu berbicara tentang kebebasan dan melepaskan diri dari belenggu. Lena, yang selalu merasa Kinanti terlalu eksentrik, tak pernah tertarik mencari tahu lebih jauh.

Namun, di tengah tekanan festival, buku harian itu terasa seperti panggilan. Lena mulai membacanya setiap malam, di bawah temaram lampu meja. Kata-kata Kinanti mengalir seperti melodi. “Ketakutan adalah kepompong paling tebal. Kita membangunnya sendiri, dan hanya kita yang bisa merobeknya.” Atau, “Setiap sayap yang tak mengepak adalah melodi yang tak terperdengarkan.”

Lena menemukan sketsa sayap yang ia pegang adalah bagian dari proyek seni Kinanti yang belum selesai: sebuah instalasi sayap kupu-kupu raksasa yang harusnya bisa digerakkan, menciptakan ilusi tarian. Tetapi entah mengapa, proyek itu ditinggalkan.


Konflik batin Lena memuncak. Ia harus mengumpulkan puisi, tetapi ia merasa hatinya kering, tak mampu merasakan esensi kata-kata itu. Ia mencoba menulis puisi sendiri, tetapi hanya ada kekakuan dan ketakutan. Di sisi lain, bayangan Kinanti, sosok yang berani mengepakkan sayap, mulai menghantuinya. Apakah ia juga memiliki sayap yang tersembunyi, yang hanya perlu ia temukan?

Suatu sore, saat mencoba mencari inspirasi di taman desa, Lena bertemu dengan Bima. Bima adalah seorang pembuat layang-layang profesional yang karyanya seringkali berupa bentuk-bentuk unik seperti burung dan serangga. Ia memiliki aura yang tenang namun penuh gairah, dan tangannya selalu sibuk merakit rangka bambu. Bima melihat Lena mondar-mandir dengan wajah kusut.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” sapanya ramah, tangannya tetap lincah mengikat benang.

Lena, yang jarang berbicara dengan orang asing, entah mengapa merasa nyaman. Ia menceritakan masalahnya dengan pameran puisi, dan tanpa sadar, ia juga menyebut tentang buku harian Kinanti dan proyek sayap kupu-kupu yang belum selesai.

Mata Bima berbinar. “Kinanti? Dia adalah teman baik saya. Dia mengajari saya banyak tentang kebebasan dalam seni.” Ia terdiam sejenak. “Sayap-sayap itu… saya tahu ceritanya. Dia ingin membuat sepasang sayap besar yang bisa menari di angin, seperti kupu-kupu yang baru lahir.”

Tiba-tiba, sebuah ide gila melintas di benak Lena. “Bima,” katanya, “Bagaimana jika kita menyelesaikan proyek Kinanti? Kita buat sayap-sayap itu, dan kita pamerkan di festival, sebagai penghormatan kepadanya?”

Bima tersenyum lebar. “Itu ide yang luar biasa, Nona. Tapi, membuat sayap yang bisa menari… itu butuh keberanian untuk membiarkan diri kita sendiri menari juga.”


Sejak hari itu, Lena dan Bima menghabiskan setiap sore di belakang perpustakaan, mengutak-atik rangka bambu, merekatkan kain warna-warni, dan mencari mekanisme agar sayap itu bisa bergerak dengan lembut seperti sedang menari. Bima adalah mentor yang sabar, mengajarinya tentang keseimbangan, tentang bagaimana angin bisa menjadi teman, bukan musuh.

Proses itu adalah metamorfosa bagi Lena. Tangannya yang dulu hanya terbiasa membalik halaman kini menjadi kasar karena bambu dan lem. Kacamata tebalnya sering melorot saat ia membungkuk, kepangannya longgar. Ia belajar menerima ketidaksempurnaan, belajar dari kesalahan, dan yang terpenting, ia belajar bekerja sama.

Bima tidak hanya mengajarinya membuat sayap, tetapi juga mendorongnya untuk melihat dunia dengan mata Kinanti. Ia mengajak Lena ke puncak bukit di pagi hari untuk melihat matahari terbit, mengajaknya mendengar kicauan burung yang tak pernah Lena sadari sebelumnya. Mereka berbicara tentang puisi, tentang keindahan dalam kerapuhan, dan tentang mengapa setiap manusia memiliki keinginan untuk terbang.

Lena mulai berani mencoba hal-hal baru. Ia mencicipi makanan lokal yang belum pernah ia coba, ia bahkan menyapa lebih dulu pengunjung perpustakaan dengan senyum tulus. Ia mendapati dirinya tertawa lepas saat Bima bercerita tentang pengalamannya membuat layang-layang aneh. Dinding kotak yang ia bangun mulai retak, dan cahaya mulai menyelinap masuk. Ia tidak lagi menghindar dari emosi, melainkan membiarkan mereka mengalir, bahkan rasa sakit masa lalu pun ia biarkan hadir dan ia proses.

Saat membaca ulang buku harian Kinanti, Lena menemukan sebuah bagian yang ia lewatkan. “Tarian terbaik bukanlah yang sempurna. Tapi yang jujur. Yang membiarkan sayap kita terbuka, meski ada risiko jatuh.” Lena menyadari, Kinanti tidak menghilang karena kalah atau takut, melainkan ia pergi untuk terus menari, ke mana pun sayapnya membawanya.


Malam festival tiba. Pameran puisi Lena, meskipun sederhana, dipenuhi oleh kata-kata yang tulus dari berbagai warga. Namun, perhatian utama tertuju pada kejutan di tengah lapangan. Di bawah sorotan lampu, berdiri tegak sepasang sayap kupu-kupu raksasa, buatan tangan Lena dan Bima. Sayap itu terbuat dari kain sutra tipis, dengan motif yang persis seperti sketsa Kinanti.

Saat musik dimulai, Bima dan Lena menarik tali-tali yang telah mereka pasang. Perlahan, sayap-sayap itu mulai bergerak, mengepak lembut, berayun ke atas dan ke bawah, seolah-olah kupu-kupu raksasa itu benar-benar hidup dan menari di udara malam. Cahaya lampu menyoroti serat-serat kain, menciptakan ilusi warna-warni yang memukau. Suara decak kagum terdengar dari penonton.

Lena berdiri di samping Bima, menatap sayap yang menari. Hatinya membengkak dengan perasaan yang tak bisa ia namai. Ada kebanggaan, kelegaan, dan rasa kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia bukan lagi ulat bulu yang bersembunyi. Ia adalah bagian dari tarian itu.

Kemudian, Bima menoleh padanya. “Sekarang, giliranmu, Lena.” Ia mengulurkan tangannya.

Lena menatap tangan Bima, lalu ke sayap yang menari di atas sana. Ia mengambil napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak takut. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Ia hanya ingin menari.

Ia menggenggam tangan Bima. Diiringi melodi lembut, Lena mulai bergerak. Gerakannya awalnya kaku, canggung. Tapi perlahan, ia membiarkan dirinya merasakan musik, membiarkan tubuhnya merespons, membiarkan sayap-sayap di hatinya mengepak. Ia menari, bukan dengan teknik sempurna, melainkan dengan jiwa yang terbuka. Matanya berkaca-kaca, senyumnya tulus. Ini adalah tarian kebebasan, tarian penerimaan diri, tarian dari hati yang kini telah terbuka.


Festival berakhir, tetapi tarian Lena tidak. Ia masih seorang pustakawan, tetapi kini ia sering mengadakan sesi membaca puisi untuk anak-anak, dengan suara yang lebih ekspresif dan penuh semangat. Rambutnya kini sering ia biarkan tergerai, dan ia sesekali mengenakan pakaian dengan warna-warna cerah. Ia masih menikmati ketenangan buku, tetapi kini ia juga merangkul hiruk pikuk kehidupan.

Ia dan Bima menjadi teman dekat, sering menghabiskan waktu bersama, entah itu membuat layang-layang baru atau sekadar berbagi cerita di bawah langit berbintang. Lena tahu, perjalanan metamorfosanya belum berakhir. Setiap hari adalah kesempatan untuk mengepakkan sayap lebih lebar, untuk menari lebih bebas.

Sayap-sayap raksasa buatan mereka kini disimpan di perpustakaan, menjadi simbol pengingat bagi Lena dan bagi siapa pun yang melihatnya: bahwa di dalam setiap diri ada sayap yang menunggu untuk terbuka, dan ada tarian yang menunggu untuk dimulai. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk keluar dari kepompong, membiarkan diri merasa, dan menari dengan hati yang lapang.