Oleh Galant Prabajati
Hari ini kita hidup di tengah arus deras informasi. Media sosial telah menjelma menjadi ruang publik baru, tempat setiap orang dapat bersuara, membentuk opini, bahkan memicu gelombang pergerakan. Di dalam ruang itu, konten adalah raja. Tetapi yang lebih penting dari sekadar “raja konten” adalah kebijaksanaan manusia dalam memperlakukannya.
Konten bisa menjadi cahaya yang mencerahkan, namun juga bisa berubah menjadi bara yang membakar. Ia bekerja melalui provokasi—memicu dopamin, menggugah emosi, hingga menggerakkan massa. Marah, sedih, empati, bahkan rasa benci dapat dengan mudah ditransmisikan hanya melalui satu unggahan. Jika tidak dikendalikan, ruang digital bisa menjadi candu sekaligus senjata. Di titik ini, media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan instrumen propaganda.
Karena itu, bangsa ini membutuhkan kedewasaan kolektif. Jangan mudah terprovokasi, jangan gampang terpancing. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengolah emosinya sebelum bertindak. Maka, biasakan sharing before share—periksa kebenaran, timbang manfaat, pastikan apa yang kita bagikan menebarkan maslahat, bukan mudarat.
Bagi pejabat publik, ruang digital menghadirkan tantangan tersendiri. Kritik, keluhan, bahkan makian adalah bagian dari konsekuensi jabatan. Sebagaimana pernah diingatkan Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji RI: “Kalau sudah menjadi pejabat publik, termasuk rektor, memang objek samsak makian, dan terima itu.” Ungkapan ini bukan sekadar nasihat, melainkan pengingat bahwa pemimpin yang sejati harus lapang dada. Sebagian dari gaji yang diterima pejabat publik memang adalah “upah” untuk bersabar menghadapi kritik rakyatnya.
Maka seorang pemimpin dituntut bukan hanya cerdas dalam mengelola kebijakan, tetapi juga arif dalam meredam gejolak. Public speaking, komunikasi publik, dan ketenangan jiwa adalah senjata moral. Pemimpin yang matang tidak membalas dengan amarah, tetapi menenangkan dengan kata-kata, membimbing dengan teladan.
Sejarah bangsa ini telah menunjukkan, keadilan dan kemakmuran tidak lahir dari tipu daya, melainkan dari kepemimpinan yang jujur dan amanah. Bung Hatta menekankan pentingnya integritas, Bung Karno menyalakan api persatuan, dan Tan Malaka mengingatkan: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Ungkapan ini memberi pesan, bahwa bangsa akan kehilangan arah bila pemimpinnya tidak lagi berpegang pada idealisme—kejujuran, amanah, dan keberanian moral untuk berpihak pada rakyat.
Karena itu, pemimpin Indonesia hari ini harus kembali pada akar nilai-nilai tersebut: jujur, amanah, dan ikhlas mengabdi. Hanya dengan itu, kepercayaan publik akan tumbuh. Dan dari kepercayaan itu, lahirlah energi kolektif yang akan membawa bangsa ini menuju cita-cita besarnya: Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Lancar barokah