Oleh Muhammad Faqihna Fiddin
Aksara selalu membayangkan hidupnya seperti cetak biru arsitektur: garis lurus, presisi matematis, tanpa celah untuk kesalahan emosional. Pada usia 32, ia telah mencapai semua yang ia gariskan. Sebuah firma arsitektur bergengsi di jantung Jakarta, apartemen minimalis dengan pemandangan kota, dan koneksi yang menjamin kelancaran setiap proyek.
Namun, di balik fasad kesuksesan itu, hatinya adalah benteng yang dingin, dibangun dari puing-puing masa lalu yang terpercik duka. Ia kehilangan ibunya di usia muda, dan pengkhianatan dari seseorang yang ia percayai di masa kuliah mengukir luka yang tak terlihat. Mengubahnya menjadi pragmatis yang tak tersentuh. Emosi baginya adalah variabel yang harus dieliminasi, kehangatan adalah kelemahan, dan manusia hanyalah deret angka dalam sebuah simulasi.
Semuanya berubah saat sebuah surat warisan tiba, memaksa Aksara kembali ke Kembara, desa terpencil di kaki pegunungan, tempat ia menghabiskan masa kecilnya sebelum tragedi menimpanya. Desa itu tak banyak berubah, masih diselimuti kabut pagi dan aroma tanah basah. Warisan itu adalah sebuah rumah tua, dulunya milik kakeknya, yang kini nyaris roboh. Proyek merenovasi rumah itu adalah satu-satunya alasan ia mau menginjakkan kaki di tanah yang penuh kenangan pahit ini.
Hari pertama di Kembara, Aksara mendapati dirinya berhadapan dengan seorang wanita bernama Citra. Ia adalah ketua komunitas lokal yang sangat gigih memperjuangkan pelestarian bangunan tua di desa itu. Citra memiliki mata sehangat matahari pagi dan senyum yang mampu melunturkan lapisan es mana pun. Ia mengenakan kaos sederhana yang sedikit luntur, rambutnya diikat longgar, dan di balik kuku-kukunya ada sisa-sisa lumpur, tanda ia tak segan bekerja dengan tangannya sendiri.
“Selamat datang kembali, Mas Aksara,” sapa Citra dengan ramah, senyumnya tulus. “Saya dengar Anda akan merenovasi rumah kakek Anda? Komunitas kami sangat berharap Anda mempertahankan nilai sejarahnya.”
Aksara menyeringai sinis. “Saya seorang arsitek, Nona Citra. Saya tahu apa yang saya lakukan. Rumah ini akan jadi aset modern, bukan museum usang.”
Citra hanya tersenyum tipis, tidak gentar. “Tentu, Mas. Tapi Kembara punya jiwanya sendiri. Ada cerita di setiap batu, di setiap ukiran.”
Gesekan tak terhindarkan. Citra mendesak Aksara untuk menggunakan material lokal, mempekerjakan penduduk desa, dan bahkan mengusulkan ruang komunal di bagian depan rumah. Aksara melihat itu sebagai pemborosan waktu dan uang. “Efisiensi, Nona Citra. Itulah kuncinya,” tegasnya suatu sore, saat Citra mencoba meyakinkannya tentang pentingnya ukiran kayu tradisional yang rumit.
“Efisiensi tanpa jiwa, Mas Aksara, itu hanya mesin,” balas Citra tenang, matanya menatap langsung ke dalam mata Aksara, seolah bisa menembus dinding pertahanannya.
Masa lalu Aksara mulai menghantuinya dalam mimpi-mimpi yang nyata. Ia melihat lagi ibunya, senyumnya yang lembut, tawa mereka di ladang teh. Lalu adegan bergeser, ke wajah teman yang mengkhianatinya, meninggalkan luka menganga yang membuatnya bersumpah tak akan pernah lagi membuka diri. Terbangun dengan napas terengah-engah, Aksara sering mendapati dirinya menatap kegelapan, meragukan pilihan hidupnya. Apakah kesuksesan yang ia genggam ini adalah kebahagiaan sejati, atau hanya pelarian dari rasa sakit?
Awalnya, Aksara sengaja menjaga jarak. Ia memerintahkan tukang, memeriksa detail, tetapi selalu menghindari interaksi personal. Namun, Citra tak menyerah. Ia sering datang membawa kopi hangat atau makanan ringan untuk para pekerja, termasuk Aksara. Ia bercerita tentang sejarah desa, tentang kekuatan gotong royong, tentang cara ia menemukan kembali semangat hidup setelah kehilangan suaminya beberapa tahun lalu.
“Hidup ini memang tentang kehilangan, Mas Aksara,” kata Citra suatu senja, saat mereka duduk di teras rumah yang belum jadi, menatap matahari terbenam yang memulas langit oranye. “Tapi juga tentang menemukan. Menemukan kekuatan baru dalam diri, menemukan alasan untuk terus maju, dan menemukan keindahan di balik setiap bekas luka.”
Kata-kata Citra menusuk sesuatu di dalam diri Aksara. Ia terkejut dengan kejujuran dan ketenangan Citra saat membicarakan kehilangan. Ia, yang selalu menghindarinya, tiba-tiba merasakan keinginan aneh untuk memahami.
Suatu hari, seorang pekerja jatuh sakit parah dan membutuhkan biaya pengobatan mendesak. Aksara, secara naluriah, berpikir tentang asuransi atau prosedur formal. Tapi Citra sudah bergerak lebih cepat. Ia mengorganisir penggalangan dana kecil-kecilan di desa, mengajak setiap warga menyumbang semampu mereka, dari beras hingga uang tunai. Aksara melihat bagaimana warga, meskipun sederhana, berbagi dengan tulus. Ia melihat Citra sendiri menyumbangkan perhiasan satu-satunya yang ia miliki.
Melihat itu, sebuah perasaan aneh menyeruak di dada Aksara. Ia, dengan seluruh kekayaannya, belum pernah merasakan kedamaian yang terpancar dari mata Citra dan warga desa. Malam itu, ia diam-diam mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Citra untuk membantu pekerja itu. Ia tak ingin pujian, hanya ingin membantu. Ini adalah tindakan altruistik pertamanya dalam waktu yang sangat lama.
Perlahan, dinding benteng Aksara mulai runtuh. Ia mulai terlibat lebih jauh dalam proyek. Ia tak lagi sekadar memerintah, melainkan ikut mengangkat batu, memahat kayu, dan bahkan bercanda dengan para pekerja. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka, tentang impian sederhana, tentang kesulitan hidup, dan tentang kegembiraan kecil.
Citra melihat perubahan itu. Ia tersenyum setiap kali Aksara tanpa sadar membantu seorang anak yang terjatuh, atau berbagi bekal makan siangnya dengan pekerja. Suatu sore, Aksara menemukan sebuah album foto lama di salah satu ruangan rumah kakeknya. Foto-foto ibunya, ayahnya, dan dirinya sendiri saat masih kecil. Ada foto ibunya memetik teh di ladang, tawanya lepas. Air mata yang sudah lama kering kini kembali membasahi pipinya. Ia memeluk album itu erat, membiarkan rasa sakit dan rindu mengalir, membiarkan dirinya merasa.
Citra menemukannya di sana, bahunya bergetar. Ia tak bertanya, hanya duduk di samping Aksara, diam. Kehadiran Citra, keheningan yang penuh pengertian, adalah terapi yang tak pernah Aksara tahu ia butuhkan. Untuk pertama kalinya, Aksara menceritakan semuanya pada Citra—kehilangan ibunya, rasa bersalah yang membebaninya karena tidak bisa menyelamatkan, dan pengkhianatan yang membuatnya mengeras.
Citra mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. “Dulu saya pikir, untuk melindungi hati, kita harus menutupnya rapat-rapat,” kata Citra lembut, “Tapi yang terjadi, kita justru menjebak diri sendiri dalam kesendirian. Rasa sakit itu akan tetap ada, Mas. Tapi kebahagiaan juga akan menunggu.”
Metamorfosa Aksara tidaklah mudah. Ada hari-hari ketika ia ingin kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas lamanya yang terprediksi. Keraguan terus menyergap, terutama saat teman-teman lamanya dari kota menelepon, menanyakan kapan ia kembali, menganggapnya aneh karena “terjebak” di desa. Tapi setiap kali ia ingin menyerah, bayangan senyum tulus Citra, kehangatan warga Kembara, dan kedamaian baru yang ia rasakan di sini menariknya kembali.
Ia belajar untuk memaafkan dirinya sendiri atas rasa bersalah yang ia pikul, dan ia belajar melepaskan kemarahan pada masa lalu. Ia mulai melihat dunia bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai tempat yang penuh dengan potensi untuk koneksi dan keindahan, jika saja ia mau membuka hatinya.
Proyek renovasi hampir selesai. Rumah kakek Aksara kini berdiri kokoh, memadukan sentuhan modern dengan elemen tradisional Kembara yang indah. Sebuah ruang komunal yang diusulkan Citra kini menjadi perpustakaan kecil untuk anak-anak desa, dengan dinding penuh mural warna-warni yang digambar oleh seniman lokal.
Namun, di tengah euforia penyelesaian, sebuah ancaman muncul. Pengembang besar dari kota berencana membeli sebagian besar lahan pertanian di sekitar Kembara untuk membangun resor mewah, mengancam mata pencarian dan keberadaan desa. Aksara tahu ini adalah ujian sejatinya. Aksara yang lama mungkin akan melihat ini sebagai peluang bisnis yang menguntungkan. Tetapi Aksara yang baru, Aksara yang hatinya telah bertransformasi, merasakan gelombang kemarahan yang membara.
Ia tak bisa membiarkan Kembara, tempat ia menemukan kembali dirinya, dihancurkan. Tanpa ragu, Aksara menawarkan keahliannya sebagai arsitek untuk menyusun proposal penolakan yang kuat, menggunakan argumen keberlanjutan dan dampak sosial. Ia bahkan menghubungi jaringan koneksinya di kota, bukan untuk proyek pribadi, melainkan untuk mencari dukungan hukum dan finansial demi Kembara.
Citra melihat Aksara yang berdiri di hadapan para perwakilan pengembang, suaranya lantang penuh keyakinan. Tidak ada lagi sinisme di matanya, hanya tekad. Aksara berbicara tentang nilai sebuah komunitas, tentang pentingnya menjaga warisan, tentang keindahan kehidupan yang sederhana yang tak bisa dibeli dengan uang. Ia tak hanya menggunakan data dan fakta, ia berbicara dari hati.
Perjuangan itu panjang dan melelahkan, tetapi berkat strategi Aksara dan semangat tak kenal lelah Citra serta seluruh warga desa, rencana pengembang berhasil digagalkan. Kembara aman.
Senja itu, Aksara dan Citra duduk di teras perpustakaan desa. Langit ungu berpadu jingga, menyajikan pemandangan yang tak pernah Aksara pedulikan sebelumnya.
“Kamu sudah banyak berubah, Mas Aksara,” kata Citra, tersenyum hangat.
Aksara mengangguk, menatap telapak tangannya yang kini sedikit kasar karena sering bekerja. “Ya. Dulu, saya membangun dinding. Sekarang, saya belajar membangun jembatan.” Ia menoleh ke arah Citra, matanya penuh rasa terima kasih dan kehangatan yang tak lagi ia sembunyikan. “Terima kasih, Citra. Kamu menunjukkan padaku bahwa ada lebih banyak hal di dunia ini selain angka dan kesuksesan.”
Aksara mungkin masih seorang arsitek, tetapi pendekatannya terhadap pekerjaan dan hidup telah berubah total. Ia mulai mengambil proyek-proyek yang berfokus pada pembangunan komunitas, konservasi, dan menciptakan ruang yang bermakna bagi manusia, bukan sekadar bangunan tinggi yang menjulang. Hatinya yang dulu beku kini telah mencair, mekar seperti bunga di musim semi. Metamorfosa itu tak hanya mengubah dirinya, tetapi juga menyentuh setiap jiwa yang berinteraksi dengannya. Ia telah menemukan rumah, bukan di dalam sebuah gedung, melainkan di dalam kehangatan hatinya sendiri yang kini terbuka lebar.
Ia telah menemukan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketiadaan rasa sakit, melainkan keberanian untuk merasakan semuanya, untuk mencintai, untuk berjuang, dan untuk menjadi manusia seutuhnya. Dan di Kembara, di antara gunung-gunung dan orang-orang yang tulus, Aksara akhirnya merasakan kedamaian yang tak pernah ia temukan di antara gedung-gedung pencakar langit di jantung Jakarta.
wah kerenn min, skrg rilis cerpen juga, ngga kerasa aku baca sampe akhir saking larut sama alur ceritanya, lanjutinn part2 berikutnya minn, ditungguu!🔥💪🏻