Oleh: Laily Nasriah
Kemarin kita merayakan Hari Raya Idul Adha 1446 H. Bukan sekadar gema takbir atau aroma daging kurban yang membekas, melainkan pesan mendalam yang kadang luput kita resapi. Sebab sejatinya, Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan ternak, tapi tentang melepaskan—melepaskan rasa memiliki atas sesuatu yang paling kita genggam erat.
Sesungguhnya, bukan Ismail yang menjadi inti pengorbanan Nabi Ibrahim, melainkan rasa “ini milikku” yang harus dikorbankan. Sebuah perasaan kepemilikan yang begitu manusiawi, namun justru itulah yang diuji. Karena ketika hati terlalu melekat pada dunia, kadang kita lupa: segalanya hanyalah titipan.
Setiap orang punya “Ismail”-nya sendiri—anak yang dicintai, ambisi yang dirawat bertahun-tahun, pasangan, pencapaian, atau bahkan nama baik. Pertanyaannya: apa yang sedang kamu genggam erat hari ini? Apakah kamu siap melepaskannya jika Tuhan memintanya kembali? Terkadang, yang Tuhan minta bukanlah benda, melainkan hati yang terlalu melekat. Maka, doanya bukan lagi “jangan ambil ini dariku,” tapi “jika bukan untukku, ajarkan aku ikhlas.”
Melepaskan bukan berarti kalah. Justru di situlah letak kekuatan sejati: menyerahkan apa yang dicintai kepada Tuhan, karena percaya bahwa tak ada yang benar-benar hilang dalam genggaman-Nya. Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa iman sejati tak selalu bersuara lantang. Ia hadir dalam sunyi, dalam bisikan: “Aku percaya, meski aku tak mengerti.”
Tuhan tidak mengambil Ismail karena ingin darah. Tapi karena ingin melihat, sejauh mana hamba-Nya berserah. Sebab cinta sejati bukan tentang mempertahankan, melainkan tentang keikhlasan memberi tanpa syarat. Maka, jika hari ini kamu diuji melalui hal yang paling kamu cintai, ketahuilah: Tuhan tidak sedang menjauh, Ia sedang mendekat. Ia tidak menghukum, tapi sedang mendidik.
Bahagia bukan tentang memiliki semua. Tapi tentang tahu kapan harus merelakan. Dan dalam kerelaan itulah, kita justru menemukan Tuhan lebih dekat. Karena inti dari kurban bukanlah apa yang disembelih, tapi hati yang memilih taat, meski logika bertanya, “kenapa harus aku?”
Terakhir, jika Tuhan memintamu merelakan hal yang paling kamu cintai, maukah kamu percaya bahwa Ia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik? Jawabannya tak ada di lisanmu, tapi dalam pasrah yang hening, dalam ikhlas yang tak tampak, tapi terasa.
Leave a Reply
View Comments