Gambar: Generus

Melawan, Memanfaatkan, Atau Menyerah Kepada Budaya Massa?

Oleh Ludhy Cahyana

Dari sejak era Kakek Adam Smith bapak teori kapitalisme hingga Mark Zuckerberg pendiri Facebook, kapitalisme alias kepemilikan modal oleh individu tak bakal surut hasratnya. Ciri khas kapitalis – pemilik modal — adalah satu: terus memperbesar modal, keuntungan, dan menekan hak-hak kerja buruh. Emang masih ada kayak begituan di abad 21? Jawabnya yessss! Mungkin di perkantoran atau perusahaan kasus mengenai eksploitasi tenaga kerja sudah minim. Apalagi ada serikat pekerja yang dikit-dikit demo.

Persoalannya, kapitalis itu kreatif dalam melipatgandakan keuntungannya. Lalu apa yang mereka lakukan untuk menciptakan cuan di abad 21? Budaya jawabannya. Budaya berkaitan erat dengan cara hidup atau gaya hidup. Maka, budaya massa — dalam istilah komunikasi massa — bisa diartikan gaya hidup bisa mode, kebiasaan, atau konsumsi yang dipakai atau disukai banyak orang hingga jadi tren. Bahkan, mereka yang tidak mengikuti tren itu, merasa ketinggalan, tidak up date atau kudet, dan dianggap tidak gaul. Ini juga menjadi semacam gangguan psikologis yang perlu dibahas khusus.

Budaya berhasil disebut budaya massa kalo sudah digunakan oleh banyak orang. Agar disukai banyak orang adalah menjadikannya sebagai tren dan diomongin banyak orang (viral), maka buda massa selalu memanfaatkan karakter manusia yang memiliki sifat bawaan butuh dipuji, diakui atau divalidasi. Di sinilah budaya pamer menjadi semacam penyakit. Pamer hari ini juga bermetamorfosis tidak hanya membunyikan klakson saat dekat pager rumah sendiri untuk nunjukin punya mobil baru. Atau main gas di pagi hari untuk nunjukin baru aja beli moge. Pamer yang paling menyenangkan tentunya bila semua orang melihatnya dan memberi pengakuan. Kebiasaan lawas manusia yang suka pamer inilah dicium oleh pemilik media sosial.

Dulunya, para pemilik modal untuk meningkatkan keuntungan dengan melipatgandakan produksi, menambah jumlah mesin dan pekerja. Di era media sosial, pamer inilah yang bakal dikapitalisasi atau dijadikan modal para pemilik media sosial. Semakin banyak orang yang subscribe atau jadi follower, maka makin beruntunglah mereka.

Nah, Generus bisa bayangin logika sederhananya: semakin gede subscriber atau follower, makin besar pula untung yang didapat. Apalagi, target market media sosial sangat jelas karena para penggunanya dengan sukarela menyetor data: usia, pekerjaan, lokasi/alamat, hobi, minat, dll. Kejelasan ini menjadi modal untuk meraih penghasilan jumbo.

Tengok saja Facebook dipakai 83 juta pengguna di Indonesia. Instagram dipakai 90,1 juta orang Indonesia, dan TikTok 108 juta warga Indonesia. Angka-angka ini jelas bukan klaim, tapi tercetak dalam jejak digital dan server masing-masing pemilik media sosial. Kejelasan para pemilik akun, membuat mereka adalah pasar yang ideal untuk ditawarkan kepada para pengiklan. Inilah yang membuat media sosial sangat menarik bagi para pengiklan: murah dan tepat sasaran. Bandingin dengan media massa yang hanya sebatas klaim dari sisi jumlah pembaca atau penontonnya.

Artinya setiap kamu mendaftarkan akun di media sosial apapun, hari itu juga kamu sudah jadi modal pemilik media sosial. Setiap kamu posting makanan, pembersih wajah, skincare, pamer mobil baru, dan apapun yang kamu naikkan di media sosialmu, semuanya dijual kepada pengiklan. Semakin rajin kamu di media sosial, makin banyak pujian yang kamu dapatkan, dan rutin update status artinya kamu dengan sukarela menjadi outsourcing media sosial atau pekerja tanpa gaji alias budak. Inilah yang disebut sebagai surveillance capitalism atau kapitalisme pengamatan. Prilakumu diamati lalu dijual kepada pengiklan.

Maka, tak aneh gaya hidup suka pamer dan konsumerisme ini didorong terus menerus oleh media sosial. Yang untung siapa? Tentu saja pemilik media sosial macam Zuckerberg atau  Zhang Yiming pendiri TikTok itu. Dan juga penikmat untung kedua adalah pemasang iklan. Misalnya, yang lagi tren coklat Dubai. Semua orang perlu makan coklat itu, dan berlomba-lomba mencarinya dari iklan yang bersliweran di media sosial, baik dari para influencer, food blogger, ataupun kalian yang mau makan coklat itu, lalu pamer di media sosial.

Nah, tentu cuanpun menumpuk bagi media sosial dan produsen coklat Dubai. Persoalannya, kalian makan hanya untuk pamer, kalian up date dengan beli pulsa, kemudian cari tempat makan yang paling enak, lalu sebelum makan selfie dulu. Semuanya diamati oleh media sosial kemudian dijual. Sampai kapan kalian bekerja tanpa bayaran justru membayar demi validasi? Hmmmm, ketimbang dipekerjakan secara gratis tentu kamu harus melawan balik dengan cara memanfaatkan media sosial untuk kepentinganmu. Jadinya saling memanfaatkan dan kamu juga tidak disetir oleh budaya massa.