Oleh M. Faqihna Fiddin
Kita hidup di zaman di mana nge-scroll media sosial udah jadi rutinitas wajib, bahkan lebih sering daripada ngobrol langsung sama orang sekitar. Bangun tidur, cek notifikasi. Lagi makan, sambil lihat Insta Story. Mau tidur, tetap kepoin update terbaru di TikTok. Rasanya, hidup tanpa media sosial kayak ada yang kurang. Tapi, pernah nggak sih kita mikir, “Apa kabar mental gue? Gue masih jadi diri sendiri nggak, sih?”
Buku Why Social Media is Ruining Your Life karya Katherine Ormerod bener-bener nyentil banget soal ini. Media sosial, yang awalnya buat nyambungin orang-orang, sekarang malah jadi ajang banding-bandingan, tempat cari validasi, dan bikin kita makin nggak puas sama diri sendiri. Efeknya? Bisa lebih dalam dari sekadar insecure lihat feed orang lain.
Ketika Media Sosial Ngatur Mood dan Kepercayaan Diri
Pernah nggak sih ngerasa seneng banget gara-gara banyak yang nge-like foto kita? Atau malah bete karena sepi respons? Tanpa sadar, angka-angka itu mulai nentuin seberapa berharganya kita. Padahal, percaya diri nggak harus diukur dari jumlah likes, komen, atau views.
Fenomena ini disebut “dopamine loop.” Setiap kali kita dapet notifikasi, otak langsung nge-push dopamine, hormon yang bikin happy. Ini mirip efek judi atau zat adiktif. Masalahnya, kalau kita kebanyakan ngandelin media sosial buat dapetin validasi, pas responsnya turun, rasa percaya diri ikut jeblok.
Dalam bukunya, Ormerod ngutip studi dari University of Pennsylvania yang nemuin kalau ngurangin waktu main media sosial jadi 30 menit sehari bisa nurunin depresi dan kecemasan secara signifikan. Artinya, makin sering kita terpapar media sosial, makin besar dampaknya ke mental kita.
Misalnya, ada cewek yang sering upload selfie dan dapet banyak pujian. Tiap kali dia nge-post, komentar dan likes yang bejibun bikin dia ngerasa cantik. Tapi begitu engagement turun, dia mulai mikir, “Gue udah nggak menarik lagi ya?” Dari hal kecil gini, bisa merembet ke overthinking, kecemasan, bahkan depresi.
Seperti yang dibilang Ormerod, “The more we rely on online validation, the more we lose our ability to self-validate.”
FOMO dan Tekanan Buat Selalu Sempurna
Siapa yang nggak pernah ngerasain FOMO (Fear of Missing Out)? Lihat teman-teman posting liburan ke Bali, makan di resto fancy, atau update kerjaan baru yang keren – rasanya kok hidup kita gini-gini aja? Padahal, di balik foto aesthetic itu, bisa jadi ada drama, capek kerja lembur, kehidupan pribadi yang berantakan atau tekanan batin yang nggak mereka tunjukin.
Katherine Ormerod ngejelasin kalau media sosial nyiptain standar hidup yang nggak realistis. Kita “dipaksa” buat selalu keliatan bahagia, sukses, glowing, dan sempurna. Akibatnya? Banyak yang akhirnya pura-pura baik-baik aja padahal aslinya struggling.
Dalam wawancara, Ormerod bilang, “Social media has become a stage where we all perform, hiding the struggles that make us human.” Ini diperkuat sama studi dari Royal Society for Public Health yang nunjukin kalau Instagram adalah platform paling berbahaya buat mental anak muda karena bikin mereka sering ngebandingin diri sendiri sama orang lain.
Contoh real-nya, ada mahasiswa yang sering lihat temen-temennya upload foto jalan-jalan, dapet beasiswa, atau punya pacar idaman. Tanpa sadar, dia mulai ngerasa ketinggalan dan mempertanyakan hidupnya sendiri. Padahal, yang dia lihat di feed cuma “highlight reel” dari kehidupan orang lain, bukan kenyataan yang sebenernya.
Hilangnya Jati Diri di Era Digital
Dampak paling serem dari media sosial adalah ketika kita mulai kehilangan diri sendiri. Setiap hari kita dicekokin standar kecantikan, gaya hidup, dan pola pikir yang diatur algoritma. Lama-lama, kita mulai mikir, “Harus gini nggak sih biar diterima? Gue harus berubah biar masuk ke standar ini?”
Ormerod nulis, “The digital world has blurred the line between reality and performance, leaving many struggling to remember who they truly are.” Ini relate banget buat kita yang tumbuh di era digital, di mana pencitraan online bisa beda jauh sama diri kita yang asli.
Misalnya, ada orang yang di media sosial terlihat percaya diri, selalu ceria, dan punya banyak teman. Tapi di dunia nyata, dia sebenarnya kesepian, penuh keraguan, dan bahkan nggak tahu siapa dirinya sebenarnya tanpa filter media sosial. Ini bisa menjadi masalah besar karena semakin lama seseorang memainkan “peran” di media sosial, semakin sulit baginya untuk mengenali siapa dirinya yang asli.
Biar Nggak Kebawa Arus, Gimana Caranya?
Jujur, kita nggak bisa lepas total dari media sosial. Tapi yang bisa kita lakuin adalah lebih sadar dan bijak dalam penggunaannya.
- Kurangi waktu scrolling. Nggak harus langsung detox total, tapi coba atur waktu maksimal main media sosial. Bisa pakai fitur “Screen Time” biar lebih disiplin.
- Follow akun yang bikin kita berkembang. Kalau timeline kita isinya cuma flexing atau bikin insecure, coba filter ulang. Cari akun-akun yang isinya edukatif, inspiratif, atau sekadar bikin mood naik.
- Ingat, media sosial bukan realitas seutuhnya. Jangan percaya 100% dengan apa yang kita lihat di feed orang lain. Yang kita lihat di feed orang lain itu cuma bagian terbaik hidup mereka. Artinya semua yang diposting adalah versi terbaik dari hidup seseorang, bukan keseluruhannya.
- Jadi diri sendiri. Nggak perlu maksa ikut tren atau ngerasa harus selalu terlihat sempurna. Santai aja, be yourself, dan jangan biarin algoritma ngatur hidup lo. Gunain media sosial sebagai alat, bukan sebagai standar nilai diri kita.
Media sosial itu ibarat pisau, bisa berguna tapi juga bisa melukai kalau kita nggak hati-hati. Kalau dipakai dengan bijak, kita bisa dapet banyak manfaat seperti bisa buat nyambungin hubungan, cari hiburan, atau bahkan jadi ladang cuan. Tapi kalau kita terlalu keasyikan sampai nggak sadar diri, kita bisa terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial, tekanan eksistensi, dan kehilangan identitas asli kita sendiri. Siklusnya bakal muter di situ aja. Capek gak sih?
Buku Why Social Media is Ruining Your Life ngajarin kita buat lebih sadar dan nggak gampang kebawa arus, ngingetin kita untuk lebih sadar akan dampak media sosial terhadap diri kita dan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Kita harus berani melawan ilusi kesempurnaan yang diciptakan media sosial dan kembali ke diri kita yang sejati. Hidup itu nggak cuma soal siapa yang paling viral atau siapa yang punya feed paling estetik. Kebahagiaan sejati nggak datang dari angka likes atau followers, tapi dari seberapa jujur kita sama diri sendiri dan seberapa puas kita ngejalanin hidup sesuai nilai yang kita pegang.
Jadi, yuk mulai lebih mindful dalam pakai media sosial. Dunia nyata itu lebih luas dari layar ponsel, dan hidup yang sebenarnya bukan soal eksistensi online, tapi soal gimana kita bisa merasa bahagia dan berarti sebagai diri kita sendiri.
Leave a Reply
View Comments