Oleh Sabila Esfandiar
Beberapa tahun terakhir, lari nggak lagi sekadar olahraga murah meriah. Dulu cukup kaos oblong, celana training, dan sepatu seadanya buat jogging keliling kompleks. Sekarang, lari sudah jadi fenomena sosial penuh nuansa FOMO (fear of missing out).
Gak ikut race? Ketinggalan update. Nggak punya outfit kece? Siap-siap minder di feed Instagram. Nggak pakai smartwatch keren? Nanti nggak bisa pamer pace di Strava.
Fenomena ini mulai terasa sejak awal 2010-an, ketika event lari 5K dan 10K rutin digelar di kota besar. Awalnya simpel: wadah buat sehat sekaligus seru-seruan bareng komunitas. Tapi makin ke sini, formatnya naik level—fun run, charity run, night run, sampai half marathon atau full marathon.
Kalau dulu finish 5K sudah bikin bangga, sekarang ada standar tak kasat mata: “Minimal half marathon lah biar sah disebut pelari.” Lari pun jadi prestise sosial. Ikut race bergengsi jadi semacam simbol status, bukti kalau kamu bagian dari kalcer kekinian.
Di sinilah “kalcer pelari” lahir. Lari bukan soal jarak atau waktu, tapi soal gaya. Outfit pelari sekarang bisa bikin dompet ngos-ngosan:
- Headband/topi running: Rp400.000 – 1 juta
- Kacamata sport: Rp2 – 4 juta
- Kaos running official brand: Rp800.000 – 1,5 juta
- Celana running premium: Rp700.000 – 1 juta
- Jam tangan GPS (Garmin, Suunto, Coros): Rp4 – 15 juta
- Kaos kaki “anti-blister”: Rp300.000 – 500.000
- Sepatu lari flagship: Rp3 – 6 juta, bahkan sampai 8 juta
Kalau dijumlah, outfit lengkap bisa nyentuh Rp15–30 juta. Itu baru untuk satu race. Kadang pelari koleksi beberapa sepatu karena beda race beda sepatu. Jadi wajar kalau lemari sepatu larinya lebih penuh daripada sepatu kerja.
Fenomena ini makin terasa karena media sosial. Bukan cuma medali finisher yang diincar, tapi juga photo spot. Banyak pelari rela antre lama demi foto kece di garis finish. Hasilnya langsung tayang di Instagram, lengkap caption motivasi, pace, dan hashtag #runnersofinstagram.
Belum lagi Strava, yang bikin aktivitas lari bisa dishare: pace, jarak, rute, semua diumbar. Nggak sekadar tracking, tapi ajang pamer: siapa paling konsisten, siapa paling banyak long run, siapa paling aesthetic dengan rute berbentuk hati.
Gak salah kalau orang pengin tampil maksimal. Gear oke memang bikin olahraga lebih semangat. Tapi ketika fokus geser dari sehat ke gaya, dari kebugaran ke flexing, di situlah FOMO makin kerasa. Banyak yang merasa harus ikut race, beli sepatu terbaru, update outfit biar nggak ketinggalan tren.
Padahal esensi lari sederhana: gerakin badan, jaga kesehatan, nikmati prosesnya. Sayangnya, di era digital, lari berubah jadi panggung. Bukan cuma lomba adu cepat, tapi juga lomba siapa paling keren di kamera.
Fenomena ini makin terasa saat event lari disponsori brand besar dan didorong influencer. Poster race makin glossy, goodie bag makin fancy, jersey makin limited edition. Pelari pun terbagi dua: serius ngejar PB atau fokus ngejar foto terbaik. Yang kedua bikin kalcer lari terlihat seperti pesta mode outdoor. Lari cuma 10K, tapi foto bisa 20 slide di Instagram Story.
Fenomena FOMO ini bikin kita mikir ulang: lari untuk kesehatan, atau lari dari takut ketinggalan tren?
Nggak ada salahnya tampil keren atau punya gear mahal. Tapi jangan sampai tujuan awal olahraga hilang ditelan budaya flexing. Pace tercepat bukan di Strava, outfit termahal bukan di Instagram, tapi konsistensi buat tetap sehat, waras, dan bahagia.
Jadi, lari boleh, gaya juga nggak masalah. Asal jangan lupa: keringat yang kamu keluarkan lebih penting daripada outfit yang kamu kenakan.
Leave a Reply
View Comments