Oleh: Faqihna
Di kota ini, hujan adalah tamu tetap. Setiap sore, langit berubah kelabu, angin bertiup malas, dan gerimis turun perlahan-lahan seperti anak kecil yang lagi ngambek.
Bagi sebagian orang, hujan itu romantis. Buatku, hujan adalah pengingat—tentang betapa kerasnya hidup.
Namaku Lintang. Umurku sebelas tahun. Aku hidup di pinggiran kota, di bawah jembatan layang, bersama Bunda dan adikku, Awan. Setiap hari, tugasku sederhana: mencari uang. Kadang jadi tukang lap kaca mobil di lampu merah, kadang jualan tisu. Pokoknya, apa aja yang halal.
Hari itu, hujan turun lebih awal dari biasanya.
Aku berteduh di bawah pohon beringin besar, menggenggam sekotak tisu yang plastiknya sudah sobek. Orang-orang berlalu-lalang dengan payung warna-warni. Sebagian besar buru-buru, menunduk, menghindari genangan.
Aku mendesah. Sepertinya hari ini lagi-lagi bawa pulang tangan kosong.
Saat itulah aku melihatnya.
Seekor kupu-kupu kecil, berwarna biru terang, terbang terombang-ambing di tengah hujan.
Aku mengucek mata, memastikan aku nggak salah lihat. Mana ada kupu-kupu di musim hujan? Biasanya mereka hanya muncul di musim panas, saat bunga-bunga bermekaran. Tapi kupu-kupu ini nyata. Sayapnya bergetar hebat, berusaha keras melawan derasnya air.
Seolah-olah, dia menolak menyerah.
Aku berdiri, melupakan kotak tisu di tangan. Dengan hati-hati, aku mengikuti kupu-kupu itu, melangkah dari satu genangan ke genangan lain. Aku nggak peduli sepatuku basah, bajuku berat karena air.
Kupu-kupu itu menuntunku ke sebuah taman kecil tersembunyi di balik deretan kios kosong. Taman itu… masih penuh bunga! Padahal semua taman lain sudah rusak diterjang hujan.
Aku berdiri di sana, terpesona. Bunga-bunga berwarna merah, kuning, ungu—berdansa di bawah hujan tipis. Di antara mereka, puluhan kupu-kupu lain beterbangan. Bukan cuma biru, tapi juga putih, oranye, bahkan ada yang warnanya bercorak seperti lukisan.
Aku nyaris nggak percaya. Seperti menemukan dunia rahasia yang cuma muncul untukku.
**
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh cepat.
Seorang nenek berdiri di belakangku. Tubuhnya kecil, wajahnya penuh keriput, tapi matanya… matanya hidup. Seperti mata seseorang yang pernah melihat terlalu banyak kesedihan, tapi memilih tetap tersenyum.
“Kau menemukannya,” katanya lembut.
“Menemukan apa?” tanyaku, bingung.
“Taman harapan,” jawab si nenek. “Taman ini hanya muncul untuk mereka yang masih punya mimpi, bahkan saat dunia seolah-olah mau memadamkannya.”
Aku mengernyit. “Aku nggak ngerti.”
Si nenek terkikik kecil. “Tak perlu mengerti. Cukup rasakan.”
Dia lalu memberiku sebuah kotak kecil berbalut kain merah.
“Ini untukmu,” katanya. “Sebagai hadiah karena kau tidak menyerah.”
Aku membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya, ada sebuah bros berbentuk kupu-kupu biru, sama persis seperti yang kulihat tadi. Bros itu berkilauan, seolah-olah terbuat dari serpihan langit.
“Jaga baik-baik,” pesan nenek itu. “Saat kau merasa kehilangan harapan, lihatlah kupu-kupu itu.”
Aku hendak bertanya lagi, tapi saat aku mengangkat kepala, si nenek sudah menghilang.
Yang tersisa hanya hujan, taman, dan puluhan kupu-kupu menari di udara.
**
Aku pulang ke bawah jembatan dengan hati penuh kehangatan.
Bunda langsung memelukku, meski bajuku basah kuyup.
“Nggak apa-apa, Nak,” kata Bunda sambil mengusap kepalaku. “Nggak semua hari harus berakhir dengan uang. Yang penting kita masih saling punya.”
Aku mengangguk, menggenggam erat kotak kecil itu dalam saku.
Malam itu, aku menceritakan taman rahasia kepada Awan.
Matanya berbinar-binar. “Aku mau lihat juga!” katanya.
Aku tersenyum. “Nanti. Kalau hujan berhenti, kita cari sama-sama.”
Tapi malam itu, dan malam-malam setelahnya, taman itu tidak muncul lagi. Aku mencari ke sana kemari, setiap kali hujan turun, berharap melihat sekilas warna biru kupu-kupu itu.
Namun, yang kutemukan hanyalah trotoar basah, kios kosong, dan udara dingin.
Awalnya aku kecewa. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang indah. Tapi perlahan-lahan, aku mulai mengerti: mungkin taman itu memang hanya perlu dikunjungi sekali saja.
Cukup sekali, untuk percaya bahwa keajaiban itu ada.
Cukup sekali, untuk membawa pulang harapan.
**
Bulan berganti. Musim hujan belum benar-benar pergi.
Suatu sore, saat hujan rintik-rintik turun, aku dan Awan duduk di trotoar. Tisu-tisu jualanku masih utuh. Orang-orang terlalu sibuk dengan ponsel dan payung mereka.
“Aku kedinginan,” kata Awan sambil menggigil.
Aku menggenggam tangannya. “Sabar, ya.”
Awan menatapku dengan mata besar polosnya. “Kak, kita bakal punya rumah beneran suatu hari nanti?”
Aku menahan napas.
Lalu, aku merogoh saku dan mengeluarkan bros kupu-kupu biru.
“Ini,” kataku, menyematkannya di jaket lusuh Awan. “Kalau kau merasa hampir menyerah, lihat ini. Ingat bahwa kita pernah percaya. Dan kalau kita percaya, itu artinya… kita masih bisa terbang.”
Awan tersenyum kecil, lalu memelukku erat.
Dan di tengah dinginnya hujan, di tengah kerasnya dunia, aku merasa hangat.
Bukan karena jaket atau api unggun. Tapi karena satu hal yang lebih berharga: harapan.
**
Suatu hari nanti, aku akan membawa Awan ke taman rahasia itu.
Atau mungkin, kami akan menciptakan taman kami sendiri—taman yang penuh warna, penuh tawa, dan penuh mimpi.
Karena kupu-kupu di musim hujan sudah mengajarkanku satu hal:
Keajaiban selalu datang untuk mereka yang memilih bertahan, bahkan saat hujan tak mau berhenti.
Leave a Reply
View Comments