Kalimat itu kedengarannya sepele, kadang dilontarkan sambil bercanda. Tapi entah kenapa, tajamnya bisa nancep sampai ke identitas diri. Gambar: Generus.id

Ketika Kita Disuruh Pilih, Viral atau Visioner?

“Lo nggak gaul banget sih.”

Kalimat itu kedengarannya sepele, kadang dilontarkan sambil bercanda. Tapi entah kenapa, tajamnya bisa nancep sampai ke identitas diri. Di zaman sekarang, ketika standar kehidupan didikte oleh apa yang trending di Twitter atau FYP di TikTok, jadi “nggak gaul” seperti semacam kutukan sosial. Lo langsung dikategorikan sebagai makhluk purba yang kudet, kuper, dan ketinggalan zaman.

Yang ironis adalah, anak-anak yang beneran punya arah hidup—yang sibuk riset, membaca, berdiskusi, bahkan berkarya dalam diam—justru sering jadi korban stempel ini. Mereka dianggap out of date karena nggak ngerti istilah viral terbaru, karena nggak ikut challenge Instagram yang lagi rame, karena nggak update gosip artis.

Padahal, sebenarnya mereka bukannya nggak gaul. Mereka tahu ke mana kaki mereka melangkah. Mereka sadar waktu itu terlalu berharga kalau cuma dihabiskan untuk scroll-scroll layar tanpa arah. Mereka ngerti bahwa hidup bukan tentang tampil di banyak layar, tapi tentang menanam jejak yang bermakna.

Mari kita jujur: hari ini kita hidup di zaman pembodohan massal yang disamarkan sebagai hiburan. Semua informasi berlomba-lomba jadi ringan dan receh. Bukan berarti hiburan itu salah. Tapi ketika semua ruang dijejali oleh hal-hal viral, sementara konten yang substansial malah sepi peminat, ada yang perlu kita khawatirkan.

Standar populer itu berbahaya ketika mulai menjadi satu-satunya tolok ukur. Kalau nggak populer, berarti gagal. Kalau nggak viral, berarti nggak keren. Akibatnya? Anak muda lebih peduli followers daripada nilai integritas. Lebih peduli aesthetic feed daripada isi kepala. Kita menciptakan generasi yang cerdas secara algoritma, tapi kosong secara pemikiran.

Ini bukan soal anti-teknologi atau nostalgia masa lalu. Ini tentang mempertanyakan: kenapa kita begitu takut dianggap nggak gaul? Dan lebih dari itu, siapa yang berhak mendefinisikan arti “gaul”?

“Gaul” itu sejatinya cuma soal relasi. Dan relasi itu selalu tersegmentasi. Nggak ada tuh istilah ‘gaul universal’. Anak otomotif pasti nyaman di bengkel, anak literasi nyaman di diskusi puisi, anak pecinta kopi ya nongkrongnya di tempat yang bisa bahas biji Arabica sampai ideologi Karl Marx. Jadi, kalau lo nggak nyambung di satu circle, bukan berarti lo nggak gaul, tapi mungkin lo salah tempat.

Kita terlalu diburu-buru untuk masuk kotak sosial yang ramai. Padahal, jadi berbeda bukan berarti salah. Orang yang memilih sendiri bukan berarti kesepian. Kadang, sendiri itu justru saat-saat paling jujur buat ngerti siapa diri kita.

Coba kita balik pertanyaannya: siapa yang lebih gaul? Anak yang tahu semua lagu TikTok dan nama-nama selebgram, tapi nggak bisa jawab siapa WR Supratman, siapa Tan Malaka, bahkan nggak tahu Evita Peron atau Fidel Castro itu siapa? Atau anak yang mungkin nggak tahu tren viral minggu ini, tapi punya wawasan sejarah, bisa mikir kritis, dan punya sikap?

Apa iya kita mau terus hidup dalam ilusi “gaul” yang hanya sekadar tampilan luar, tapi nggak punya kedalaman?

Kita perlu definisi baru soal kata gaul. Bukan yang ditentukan algoritma, tapi yang ditentukan arah hidup. Bukan siapa yang paling banyak disorot, tapi siapa yang paling punya visi dan isi. Karena jadi orang keren itu bukan soal seberapa sering kita muncul di layar orang, tapi seberapa jernih kita melihat ke dalam diri sendiri.

Menjadi generus hari ini bukan perkara mudah. Kita ditantang untuk tetap waras di tengah hiruk-pikuk dunia yang bising. Kita diminta untuk tetap berisi di tengah generasi yang sibuk tampil. Kita diajak untuk tetap belajar di saat kebanyakan orang memilih hiburan sebagai pelarian.

Tapi justru di situlah tugas kita. Untuk mendidik diri, bukan hanya supaya pintar, tapi supaya paham. Untuk mengisi waktu, bukan hanya supaya produktif, tapi supaya berarti. Untuk gaul, bukan supaya ikut-ikutan, tapi supaya terhubung dengan yang sefrekuensi—yang juga mau tumbuh, berpikir, dan membangun arah.

Karena pada akhirnya, lebih baik jadi katak dalam tempurung buku dan pemikiran, daripada jadi katak yang lompat-lompat di panggung sorotan tapi kehilangan makna.