Kita sering membayangkan cinta sebagai sesuatu yang manis, penuh kehangatan, dan selalu menyenangkan. Tapi, kalau dipikir lagi, bukankah cinta sejati justru hadir dalam kesediaan untuk berkorban? Dalam kesiapan untuk tetap percaya, bahkan ketika keraguan datang bertubi-tubi? Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengajarkan bahwa cinta bukan sekadar soal memiliki, tetapi tentang memberi tanpa pamrih dan tunduk pada kehendak yang lebih besar.
Tak ada ujian cinta yang lebih berat daripada yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seorang ayah yang sudah lama menantikan anaknya, tiba-tiba diperintahkan untuk mengorbankannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ ١٠٢
”Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, Ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat · Ayat 102)
Saat itu, Nabi Ismail bisa saja menolak, tapi justru memilih tunduk. Logika manusia mungkin akan memberontak, tetapi cinta mereka kepada Allah mengalahkan segalanya.
Bukan sekadar kisah kuno yang hanya disampaikan dalam khotbah, tapi ada sesuatu yang bisa dipetik untuk kehidupan modern. Cinta yang tulus tidak hanya soal bahagia bersama, tapi juga rela berkorban demi kebaikan yang lebih besar. Seperti pasangan yang saling mendukung di masa sulit, atau sahabat yang tetap ada meskipun keadaan tak berpihak.
Ragu sering datang dalam cinta. Pernah merasa takut kalau orang yang dicintai benar-benar peduli? Pernah bertanya-tanya apakah mereka akan tetap ada saat situasi sulit? Nabi Ismail bisa saja merasa dikhianati, bisa saja lari. Tapi dia memilih percaya. Percaya bahwa ayahnya tidak akan menyakitinya tanpa alasan. Percaya bahwa ada makna lebih besar di balik semua ini.
Saat seseorang yang dicintai mengambil keputusan sulit, mampukah tetap percaya? Saat pasangan merantau demi masa depan yang lebih baik, beranikah untuk tidak menyimpan curiga? Cinta sejati tidak hanya hadir dalam momen-momen indah, tetapi juga dalam keberanian untuk percaya meskipun hati dihantui keraguan.
Nabi Ismail bisa saja lari. Secara fisik, dia mampu menyelamatkan diri dari perintah yang terdengar mustahil. Tapi dia memilih untuk tetap tinggal, untuk tunduk, untuk tidak melawan. Itu adalah level ikhlas yang sulit dibayangkan. Dan Allah pun menggantikan pengorbanan itu dengan sesuatu yang jauh lebih baik:
“وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ”
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Saffat: 107)
Banyak situasi dalam hidup di mana jalan keluar terlihat lebih mudah, tapi justru memilih bertahan. Dalam hubungan, saat terjadi kesalahpahaman atau perbedaan prinsip, pergi bisa jadi pilihan yang lebih simpel. Tapi apakah itu yang terbaik? Ikhlas bukan berarti pasrah begitu saja, tapi tentang memahami bahwa terkadang, tunduk bukan berarti kalah, melainkan tanda dari cinta yang lebih besar.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan hanya cerita lama yang didengar saat Idul Adha. Tapi adalah pengingat bahwa cinta sejati bukan soal memiliki atau menyenangkan diri sendiri, tetapi tentang kesiapan untuk berkorban, keberanian untuk percaya, dan keikhlasan untuk tunduk. Cinta yang paling kuat bukanlah yang selalu indah, tetapi yang mampu bertahan meskipun diuji oleh waktu, jarak, dan keadaan.
Leave a Reply
View Comments