Sains tentang junk food. Foto: tuilathao.com

“Kenapa Junk Food Susah Ditinggalin? Ini Trik Sains di Baliknya”

Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin

Coba deh jujur: berapa kali dalam seminggu kamu bilang, “Ini terakhir, habis ini makan sehat,” sambil menggigit burger keju dengan lelehan saus yang nggak tanggung-tanggung? Atau kamu yang diam-diam nyetok keripik dan minuman manis di dalam laci, padahal udah janji mau diet? Tenang, kamu nggak sendiri. Dan yang lebih penting: kamu nggak sepenuhnya salah. Ada trik sains di balik kenapa junk food itu susah banget ditinggalin, bahkan ketika kita tahu itu nggak sehat.

Semua ini dimulai dari lidah kita. Iya, si kecil di dalam mulut itu bukan cuma buat ngerasain makanan, tapi juga punya peran besar dalam kebiasaan makan. Lidah manusia punya kemampuan untuk mendeteksi rasa dasar: manis, asin, asam, pahit, dan umami. Nah, junk food biasanya dirancang sedemikian rupa untuk menggabungkan beberapa rasa itu dalam satu gigitan. Coba pikir: pizza punya rasa asin dari keju, umami dari saus tomat dan daging, manis sedikit dari saus, dan gurih dari lemak. Itu kayak pesta rasa di mulut. Otak kita langsung menandainya sebagai “pengalaman menyenangkan” dan otomatis mendorong kita untuk mengulanginya.

Tapi bukan cuma soal rasa. Yang lebih “licik” adalah bagaimana otak kita bereaksi. Ketika kamu makan makanan tinggi gula, garam, dan lemak—tiga senyawa yang mendominasi junk food—otak melepaskan dopamin, senyawa kimia yang bikin kita merasa senang dan puas. Menurut Dr. Nora Volkow, direktur National Institute on Drug Abuse, efek dopamin ini mirip dengan apa yang terjadi ketika seseorang menggunakan narkoba. Dalam kata lain, otak memperlakukan junk food hampir seperti zat adiktif. Nggak heran kalau kita merasa “ketagihan” dan susah berhenti walau udah kenyang.

Masalahnya, otak kita berevolusi di zaman ketika makanan langka. Dulu, manusia harus berburu dan mencari makan dengan susah payah. Jadi, ketika nemu makanan tinggi kalori, otak menganggap itu hadiah besar. Sayangnya, otak kita belum berubah banyak sejak zaman purba, sementara makanan sekarang justru berlimpah dan gampang didapat. Alhasil, sistem penghargaan di otak terus menjerumuskan kita buat ngidam makanan yang nggak sehat, padahal tubuh kita nggak butuh sebanyak itu.

Selain dopamin, ada juga efek dari kombinasi gula dan lemak yang disebut “hyperpalatable foods” yaitu makanan yang terlalu enak sampai otak kewalahan. Penelitian oleh Yale University menyebutkan bahwa makanan jenis ini bisa mengubah cara kerja sistem reward di otak. Mereka bikin kita makan bukan karena lapar, tapi karena pengen. Kita jadi susah mengontrol diri karena otak sudah terkondisikan untuk selalu mencari sensasi nikmat itu lagi dan lagi.

Dan jangan lupakan satu pemain penting lainnya: industri makanan. Banyak perusahaan besar menghabiskan jutaan dolar untuk riset rasa dan tekstur yang sempurna. Mereka punya flavorists alias ahli rasa yang tugasnya menciptakan makanan yang bikin orang ketagihan. Bahkan, ada istilah yang mereka gunakan: the bliss point—titik kebahagiaan sempurna ketika rasa manis, asin, dan lemak berada di kombinasi yang paling memuaskan. Menurut Howard Moskowitz, seorang ahli psikofisika makanan yang membantu menciptakan produk-produk makanan terkenal, bliss point adalah kunci kenapa makanan tertentu terasa “pas banget” dan bikin kita susah berhenti makan.

Bahkan tekstur punya peran besar. Makanan ringan yang renyah seperti keripik atau snack gurih lainnya sengaja dirancang dengan “crunch” yang memuaskan. Bunyi renyah ini memicu reaksi psikologis yang disebut “oral feedback” yang bikin otak kita berpikir bahwa makanan itu lebih menyenangkan. Ini dibuktikan dalam studi yang diterbitkan di jurnal Appetite, di mana suara makanan yang dikunyah memengaruhi persepsi rasa dan kepuasan makan. Artinya, semakin renyah dan berisik makananmu, semakin besar kemungkinan kamu ingin makan lebih banyak.

Nggak cukup sampai di situ. Junk food juga dirancang biar gampang dimakan dalam jumlah besar tanpa cepat bikin kenyang. Coba deh bandingin: kamu bisa makan sekantong keripik dalam 5 menit, tapi coba makan semangkuk sayur kukus dalam waktu yang sama—pasti lebih lambat dan cepat kenyang. Ini karena makanan olahan cenderung rendah serat dan tinggi energi, jadi walau kalorinya banyak, sinyal kenyang dari lambung ke otak terlambat muncul. Alhasil, kamu makan lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan.

Ironisnya, semakin sering kamu makan junk food, semakin tumpul respons otak terhadap makanan sehat. Studi dari University of Cambridge menunjukkan bahwa diet tinggi makanan ultra-proses bisa merusak sinyal pengatur nafsu makan di hipotalamus, bagian otak yang ngatur rasa lapar dan kenyang. Akibatnya, kita jadi sulit merasa puas meskipun sudah makan banyak. Ini semacam lingkaran setan: makan junk food, pengatur nafsu makan rusak, jadi makan lagi, dan terus begitu.

Selain sisi biologis dan industri, ada juga faktor emosional yang bikin junk food makin sulit ditinggalkan. Banyak dari kita makan bukan karena lapar, tapi karena stres, bosan, atau butuh kenyamanan. Makanan seperti cokelat, es krim, atau ayam goreng jadi “pelarian” dari emosi negatif. Dalam psikologi, ini disebut emotional eating. Sayangnya, junk food adalah pilihan utama karena langsung kasih efek nyaman, cepat, dan murah. Tapi efeknya sementara, dan sering kali diikuti rasa bersalah atau penyesalan setelahnya—yang, ironisnya, bisa bikin kita balik lagi ke junk food.

Budaya juga nggak kalah berpengaruh. Dalam banyak lingkungan sosial, junk food jadi bagian dari perayaan, nongkrong, atau momen kebersamaan. Pizza pas nonton bareng, boba waktu jalan sama teman, atau gorengan pas ngumpul di kantor. Makanan ini jadi lebih dari sekadar nutrisi—ia adalah simbol kebersamaan. Dan tentu saja, susah menolak ketika semua orang di sekitarmu juga menikmatinya.

Jadi, ketika kamu merasa kesulitan lepas dari junk food, ingat bahwa kamu sedang berhadapan dengan sistem biologis, psikologis, sosial, dan bahkan ekonomi yang sangat kompleks. Ini bukan cuma soal “kurang niat” atau “nggak punya tekad,” tapi lebih kepada bagaimana makanan-makanan ini memang dirancang untuk bikin kita balik lagi dan lagi.

Bukan berarti kamu harus hidup super ketat dan anti-junk food selamanya. Tapi memahami cara kerja otak dan tubuh terhadap makanan bisa jadi langkah awal buat mengubah kebiasaan. Misalnya, kamu bisa mulai dengan membatasi frekuensi konsumsi, memperhatikan rasa lapar yang sesungguhnya, dan mengganti makanan tinggi kalori dengan versi yang lebih sehat tapi tetap memuaskan. Kamu juga bisa mencoba mindful eating—makan dengan sadar, menikmati setiap suapan, dan mendengarkan sinyal kenyang tubuh.

Beberapa studi menyarankan teknik habit replacement, yaitu mengganti kebiasaan lama dengan yang baru, bukan langsung menghilangkan. Jadi, kalau kamu biasanya ngemil keripik saat stres, coba ganti dengan kacang panggang atau buah kering. Lama-lama, otakmu akan belajar menyukai alternatif itu juga, apalagi kalau kamu konsisten.

Intinya, junk food bukan musuh, tapi kita perlu tahu cara mengatur hubungan dengannya. Sama seperti hubungan toxic—kadang kita tahu itu nggak baik, tapi tetap balik lagi. Yang penting adalah sadar, paham kenapa, dan pelan-pelan membangun kebiasaan baru yang lebih sehat. Karena di balik setiap gigitan burger, ada sistem rumit yang bekerja tanpa kita sadari. Tapi kabar baiknya: begitu kamu tahu cara kerjanya, kamu bisa mulai mengambil kendali lagi.

Dan kalau kamu masih sesekali tergoda makan fast food, nggak apa-apa. Hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal tahu kapan harus menikmati, dan kapan harus kembali menjaga diri. Karena pada akhirnya, sehat itu bukan tujuan akhir, tapi proses yang kamu nikmati pelan-pelan. Satu gigitan lebih sadar, satu langkah lebih bijak.

Sumber:

  1. https://www.psychologytoday.com/us/blog/advancing-psychiatry/201906/six-steps-stop-addiction-sugar-and-junk-food
  2. https://news.harvard.edu/gazette/story/2024/09/why-do-we-crave-junk-food-diet-psychology
  3. https://en.wikipedia.org/wiki/Bliss_point_(food)
  4. https://www.fastcompany.com/1671920/how-junk-food-is-engineered-to-be-hopelessly-addicting
  5. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4818794
  6. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-leading-edge/202403/the-neurochemistry-of-food-cravings
  7. https://en.wikipedia.org/wiki/Hyperpalatable_food
  8. https://www.npr.org/sections/thesalt/2015/12/16/459981099/how-the-food-industry-helps-engineer-our-cravings
  9. https://www.bbc.co.uk/food/articles/junk_food_brain