Keluarga, Tempat Pulang yang Bisa Jadi Bumerang. Foto: Canva.com

Keluarga, Tempat Pulang yang Bisa Jadi Bumerang

Oleh Thifla Thuwaffa Isqy

“Harta yang paling berharga adalah keluarga” rasa-rasanya semua orang tau lirik lagu ini ya. Tapi sayangnya, nggak semua orang bisa merasakan makna dari setiap kata tersebut. Tak jarang, keluarga bisa menjadi sumber luka utama dari setiap insan manusia.

Istilah generational trauma kini makin mencuat. Trauma atau luka batin yang diturunkan dari generasi sebelumnya, bisa dari orangtua kita, nenek kakek kita, buyut kita. Terus mereka dengan sadar atau tidak bisa menurunkan traumanya ke kita.

Kamu pernah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari orang rumah? Mungkin dipukul, dicubit atau dibentak? Bisa jadi itu manifestasi dari trauma orangtua kita dulu. Mereka juga diasuh dengan cara yang seperti itu, dan belum menyadari bahwa ada luka psikis yang terbentuk.

Selaras dengan kesadaran kesehatan mental yang kian meningkat, kita mulai mencoba memahami diri sendiri dan merefleksi setiap kejadian di hidup kita dan dampaknya di kemudian hari.

Kabar baiknya, rantai generational trauma dapat diputus loh, dan itu semua bisa dimulai dari kamu! Kalau kamu mulai mengakui interaksi dengan keluarga mulai tidak sehat, artinya kamu selangkah lebih maju untuk memulai proses penyembuhan diri.

Generational trauma erat kaitannya dengan pola asuh atau biasa disebut parenting style. Mari kita coba menganalisa, parenting yang diterapkan orangtua kita termasuk tipe yang apa. Dengan begitu, kita lebih mudah memetakan sumber luka utama dan proses penyembuhannya.

Berdasarkan teori dari psikolog Diana Baumrind yang masih relevan sampai sekarang, ada dua aspek dalam pengasuhan yaitu responsiveness dan demandingness.

Responsiveness itu gabungan dari rasa hangat, dukungan, dan kepedulian pengasuh/orangtua kepada sang anak. Sedangkan demandingness berkaitan dengan tuntutan dan pola kedisiplinan yang diterapkan orangtua kepada anak.

Nah, kombinasi dari kedua aspek itu berkembang jadi empat tipe pola asuh.

  • Pola asuh demokratis

Pola asuh ini sering disebut pola asuh “ideal”, karna aspek responsiveness dan demandingnessnya seimbang. Orangtua memberikan anak kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka mau selagi tidak melewati batas dan aturan yang disepakati. Orangtua tetap memiliki peran sebagai pengawas. Menurut penelitian, anak dengan pola pengasuhan demokratis memiliki kepercayaan diri yang baik dan mudah beradaptasi, karena mereka diberikan kesempatan untuk berpendapat dan berkomunikasi dua arah dengan orangtuanya.

  • Pola asuh otoriter

Kalau pola asuh yang ini, ibarat kita masuk ke tentara. Hanya boleh menerima instruksi tanpa berdiskusi, pokoknya semuanya diatur tanpa kompromi. Orangtua tidak memberikan toleransi sekecil apapun pada kesalahan. Pokoknya yang ada hanya tuntutan alias demanding tanpa aspek responsif. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung mengembangkan kepribadian yang either dia akan jadi penakut untuk mengutarakan pendapat atau agresif karna ditekan terus.

Ingat ada anak luar negeri yang tega menghabisi orangtuanya sendiri? Padahal anaknya berprestasi loh, usut punya usut anak itu lelah karna selalu dituntut belajar dan latihan untuk lomba dengan jadwal yang tidak manusiawi. Ngeri ya?

Kadang kita lupa kalau keluarga kita juga manusia yang perlu diapresiasi bukan robot yang tak kenal lelah.

  • Pola asuh permisif

Kebalikan dari pola asuh otoriter, pola asuh permisif ini hanya memiliki dimensi responsiveness. Bisa dikatakan, pola asuh ini terlalu memanjakan dan menuruti semua keinginan anak tanpa batas. Orangtua dengan gaya pengasuhan ini cenderung menerima dan menyetujui keinginan anak untuk menghindari konflik. Akibatnya, anak menjadi pribadi yang manja dan cengeng. Anak juga jadi tidak terbiasa mengikuti aturan yang ada dan cenderung semena-mena.

  • Pola asuh pengabaian

Pola asuh ini tidak memiliki kedua aspek baik demandingness maupun responsiveness. Terus gimana dong? Ya dibiarin gitu aja. Inget film joshua oh joshua? Yang dia sampai kehujanan dan kedinginan di luar dan nggak boleh masuk rumah sama ibunya? Nah, gambarannya pola asuh ini seperti itu. Orangtua dengan pola asuh ini cenderung belum siap atau bahkan tidak menginginkan kehadiran anak. Jadi kebutuhan anak tidak dipenuhi, baiki fisiologis, psikologis maupun materialnya. Dampaknya anak bisa memiliki pandangan negatif terhadap kehidupan dan dipaksa bertahan hidup seadanya.

Berikut empat pola asuh yang berhubungan dengan generational trauma. Semoga kita sebagai anak dapat memahami apa yang dialami orangtua kita ya, Kuncinya bisa saling memaafkan untuk hidup yang tenang.