Generus Indonesia
Kebenaran Bisa Kalah? Inilah Buktinya di Era Digital. Gambar: Generus

Kebenaran Bisa Kalah? Inilah Buktinya di Era Digital

Oleh Galant Prabajati

“Kebenaran tanpa kekuatan hanyalah impian. Kekuatan tanpa kebenaran hanyalah kezaliman. Tetapi kebenaran yang disertai kekuatan akan menjadi keadilan dan kemerdekaan.”

— Tan Malaka

Kutipan ini relevan sekali untuk era digital sekarang. Kebenaran tidak cukup hanya ada, ia perlu diperjuangkan, diorganisir, dan diberi kekuatan. Tanpa itu, kebenaran bisa kalah oleh kebohongan yang disusun rapi.

Hari ini kita menyaksikan bagaimana kebohongan justru sering lebih terorganisir daripada kebenaran. Lewat media sosial, hoax bisa diproduksi massal, disebar serentak, dan diperkuat oleh ribuan akun buzzer. Satu narasi palsu bisa menggiring opini publik, bahkan memengaruhi keputusan politik. Hoax yang sebenarnya rapuh menjadi berbahaya ketika dilengkapi mesin penyebar yang solid.

Sementara itu, kebenaran sering berjalan sendiri-sendiri. Fakta ilmiah tercecer di laporan penelitian, klarifikasi tenggelam di bawah banjir meme, dan suara kritis sering terpinggirkan. Inilah ketimpangan yang harus kita hadapi: keburukan sudah punya manajemen, sementara kebaikan masih sering bergerak tanpa koordinasi.

Padahal sejarah menunjukkan bahwa kebenaran hanya bisa menang jika ia terorganisir. Gerakan kemerdekaan Indonesia, misalnya, tidak mungkin berhasil kalau hanya mengandalkan individu yang tahu penjajahan itu salah. Mereka butuh organisasi, strategi, dan persatuan. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan. Fakta yang tercerai-berai baru menjadi kuat ketika disusun dalam metode ilmiah. Tanpa organisasi, kebenaran sering kali tidak berdaya.

Masalahnya, kebohongan lebih cepat berorganisasi. Ada uang, kepentingan, dan kekuasaan yang mendorongnya. Sementara kebaikan butuh kesadaran, komitmen, dan kerja kolektif yang lebih sulit. Akibatnya, di ruang digital, keburukan sering tampak lebih meyakinkan hanya karena ia punya sistem yang rapi.

Di titik inilah peran anak muda menjadi penting. Generasi sekarang tumbuh dengan gadget di tangan, terbiasa mengakses banyak informasi sekaligus, dan punya daya kritis yang besar. Tapi kemampuan itu tidak boleh berhenti di level individu. Literasi digital penting, tapi lebih penting lagi mengorganisir kebaikan. Jangan hanya jadi konsumen informasi, jadilah produsen narasi tandingan. Lawan hoax bukan sekadar dengan klarifikasi, tapi dengan konten yang kreatif, relatable, dan membangun.

Kita juga harus ingat bahaya terbesar dari propaganda bukan hanya membuat orang percaya pada kebohongan, tetapi membuat orang tidak percaya pada apa pun. Saat masyarakat skeptis pada semua informasi, keburukan akan menang dengan sendirinya. Karena itu, apatisme bukan pilihan. Diam bukan netral, diam berarti membiarkan buzzer dan hoax terus menguasai ruang publik.

Tan Malaka sudah mengingatkan sejak lama bahwa kebenaran butuh kekuatan agar berdaya. Kini kita bisa menambahkan: kebaikan butuh organisasi agar bisa melawan keburukan yang terorganisir. Pertanyaannya sederhana: jika kebohongan bisa bekerja sama begitu rapi, kenapa kebaikan masih dibiarkan berjalan sendirian?

Maka, kebaikan bisa saja kalah dengan kejahatan yang terorganisir.