Ilustrasi: ing/lines

Kebahagiaan Ibu

Bahagia Ibu ternyata sederhana sekali.

Ia terletak pada rajut-rajut jahit yang dibuat,

pada daun kelapa yang diubah menjadi ketupat lalu ia post di status WA.

pada petikan dedaunan segar yang ia ambil di kebun

“seger-seger buat lalapan” ucapnya sambil memfoto.

pada masakan-masakan yang dibumbui ala restoran bintang 5

yang dilahap habis oleh anak-anaknya,

sambil berkata “alhamdulillah masakanku laku oleh suami dan anak-anak”

tentu di status WA dan terkadang Tiktok.

Bahagia Ibu ternyata sederhana sekali.

Ia tersimpan pada wajah lelah yang tetap tersenyum,

meski punggungnya nyeri dan lututnya gemetar,

karena seharian keliling pasar demi lauk favorit sang anak.

Ia menetap di jemari yang tak lagi lentik,

namun masih lincah menyiangi bayam, menyiapkan bekal,

mengirim doa lewat voice note,

“Semangat ya kerjanya, Ibu doain selalu.”

Ia tumbuh pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita anggap biasa:

memastikan termos air panas selalu penuh,

mengganti sarung bantal yang sudah bau,

mengatur isi kulkas agar esok tetap ada yang bisa dimasak.

Ia mengakar dalam keberadaan kita:

saat kita pulang, walau hanya sebentar,

saat kita cerita, walau hanya lewat chat,

saat kita makan, walau hanya hasil kiriman foto.

Bahagia Ibu ternyata bukan tentang dunia yang gemerlap,

tapi tentang kita yang masih mengingat,

masih menyapa,

masih menyayangi dengan cara-cara yang sering lupa kita rayakan.

Dan mungkin,

kebahagiaan Ibu,

adalah saat kita menyadari…

bahwa segala yang ia lakukan,

selalu,

dan akan selalu,

berawal dari cinta yang tak pernah ingin terlihat rumit.