Ilustrasi Perang Badar. Foto: merdeka.com

Kalah Bukan Karena Lemah, Tapi Karena Lupa Taat

Kita sering berpikir bahwa kegagalan itu terjadi karena kita kurang kuat, kurang pintar, atau kurang beruntung. Tapi kadang, kenyataannya lebih sederhana dan menyakitkan: kita gagal karena kita lupa taat. Lupa sama aturan. Lupa sama prinsip. Lupa kalau kita ini hamba, bukan pemilik hasil. Dan pelajaran paling nyata tentang itu bisa kita lihat dari peristiwa besar dalam sejarah Islam—sebuah peristiwa yang tidak hanya menyentuh sisi strategi perang, tapi juga sisi terdalam dari hubungan manusia dengan Allah: peristiwa Perang Uhud.

Waktu itu, umat Islam baru saja meraih kemenangan besar di Perang Badar. Mereka masih kecil secara jumlah, tapi berhasil mengalahkan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Kepercayaan diri naik. Nama Islam mulai menggema. Tapi kemudian datang ujian berikutnya: Perang Uhud. Dalam surah Ali ‘Imran, Allah mengabadikan peristiwa ini secara panjang lebar, bukan hanya untuk dicatat sebagai sejarah, tapi untuk menjadi cermin—buat kita, yang hidup ratusan tahun setelahnya, dan masih sering lupa bagaimana cara taat di saat ujian datang.

Rasulullah SAW mengatur strategi dengan sangat cermat. Pasukan Muslim berjumlah sekitar 700 orang. Untuk melindungi sisi belakang pasukan yang rawan diserang, beliau menempatkan 50 pasukan pemanah di atas bukit kecil (jabal) dan berpesan tegas: “Jangan turun dari tempat kalian, apapun yang terjadi. Jika kalian melihat kami menang, jangan turun. Jika kalian melihat kami kalah, pun jangan turun.” Pesan ini jelas: tetap di pos, sampai instruksi datang.

Awalnya, strategi berjalan mulus. Pasukan Quraisy terdesak. Kemenangan sudah di depan mata. Tapi kemudian terjadi sesuatu yang sangat manusiawi—para pemanah melihat pasukan Quraisy kabur, dan harta rampasan perang mulai berserakan. Mereka tergoda. “Udah menang ini, ayo turun ambil bagian kita!” Beberapa dari mereka mulai turun, meninggalkan posnya, meskipun beberapa yang lain mengingatkan. Tapi mereka berpikir, perintah Nabi tadi hanya berlaku selama perang belum dimenangkan. Ini kan udah menang, kan?

Tapi di situlah titik baliknya. Khalid bin Walid, yang saat itu masih bersama pasukan Quraisy dan dikenal jenius dalam strategi militer, melihat bukit itu kosong. Ia langsung memimpin pasukan berkuda mengitari bukit dan menyerang dari belakang. Umat Islam kaget, formasi kacau, dan pasukan yang tadinya nyaris menang berubah jadi tercerai-berai. Bahkan Rasulullah SAW sendiri terluka parah, gigi beliau patah, wajah beliau berdarah, dan desas-desus sempat menyebar bahwa Nabi telah wafat.

Allah SWT menurunkan ayat-ayat tajam tapi penuh cinta dalam Surah Ali ‘Imran. Salah satunya:

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّنۢ بَعْدِ مَا أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَ ۚ

“Sungguh, Allah telah menepati janji-Nya kepadamu ketika kamu membinasakan mereka dengan izin-Nya, sampai ketika kamu gagal dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah Rasul, setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (yaitu kemenangan).”

(QS Ali ‘Imran: 152)

Ayat ini menampar dengan lembut. Bahwa janji kemenangan dari Allah itu nyata, asalkan kita tetap taat. Tapi ketika kita mulai berselisih, menuruti keinginan pribadi, dan meninggalkan perintah, maka kekalahan itu bukan karena kita lemah—tapi karena kita sendiri yang membuka celahnya.

Kisah ini seolah memantulkan kehidupan kita sehari-hari. Bukankah sering kali kita juga hampir sampai di titik keberhasilan, tapi kemudian tergelincir karena tergoda shortcut? Sudah belajar untuk ujian, tapi curang di menit terakhir. Sudah kerja keras, tapi tergoda manipulasi demi cepat kaya. Sudah dalam hubungan yang sehat, tapi tergoda chat yang “cuma iseng”. Kita sering lupa: kadang bukan setan yang menggagalkan kita, tapi keinginan kita sendiri yang tak taat pada nilai yang kita pegang.

Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa taat itu tidak selalu tentang hal besar. Kadang cuma soal tetap di tempat. Tetap sabar. Tetap diam. Tetap jaga amanah. Tapi justru hal-hal “kecil” itulah yang paling berat dijaga, apalagi saat godaan terasa besar dan “logis” untuk diikuti.

Rasulullah SAW sendiri sangat terluka oleh peristiwa ini. Bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Tapi beliau tidak menyalahkan mereka secara pribadi. Allah pun menurunkan ayat:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu.”

(QS Ali ‘Imran: 159)

Ayat ini menyentuh banget. Ternyata Allah lebih memilih mendidik dengan kasih daripada menghukum. Dan dari sini kita belajar bahwa kesalahan bukan akhir, asal kita mau belajar dan kembali.

Dalam konteks kekinian, kisah ini bukan cuma tentang perang. Ini tentang kita yang lagi “berperang” dengan ambisi, ego, dan godaan setiap hari. Tentang kita yang sering hampir menang, tapi gagal karena lupa menjaga prinsip. Tentang kita yang kadang gak kalah karena gak mampu, tapi karena kita gak sabar taat sampai akhir.

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadis yang sangat cocok dijadikan refleksi setelah membaca kisah ini:

“عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ…”

“Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga…”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Jujur pada siapa? Bukan cuma kepada orang lain. Tapi juga kepada diri sendiri dan pada komitmen kita pada ketaatan. Karena setiap kali kita jujur dalam menaati Allah, meski hasil belum terlihat, kita sedang berjalan menuju kebaikan. Menuju surga.

Kita semua pernah merasa lelah taat. Pernah merasa “udah cukup”, dan tergoda ambil jalan pintas. Tapi kisah ini mengingatkan: jangan tinggalkan pos sebelum tugas selesai. Jangan abaikan perintah hanya karena godaan terlihat menguntungkan. Karena kemenangan sejati bukan milik yang cepat tapi milik mereka yang tetap taat.

Dan kalau pun kita pernah tergelincir, jangan malu untuk kembali. Seperti para sahabat yang tetap dicintai Allah meski mereka keliru. Karena Allah tidak pernah bosan memberi ampunan, selama kita tidak bosan untuk kembali taat.