Jejak di Persimpanganmu. Gambar: Generus

Jejak di Persimpangan

Oleh Fitri Utami

Di sebuah desa yang dikelilingi hutan lebat, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Sejak kecil, ia tumbuh dengan kebiasaan mengikuti jejak ayahnya, Pak Wirya, seorang pemburu tangguh yang dikenal di desa. Raka selalu diajarkan untuk membaca tanda-tanda alam, mengenali arah angin, dan memahami jejak yang tertinggal di tanah.

“Apa yang kau lihat di tanah ini?” tanya Pak Wirya suatu hari saat mereka berburu.

Raka menunduk, mengamati bekas jejak kaki di tanah yang lembab. “Ini jejak rusa, Ayah,” jawabnya.

Pak Wirya tersenyum bangga. “Bagus. Ingat, jejak selalu memberi petunjuk ke mana kita harus melangkah.”

Sejak saat itu, Raka selalu memperhatikan jejak-jejak yang tertinggal di hutan. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggunya, persimpangan di tengah hutan. Itu adalah titik di mana jalur berburu bercabang menjadi dua.

Sang ayah selalu memilih jalur kanan, karena lebih aman dan sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. “Jangan pernah mengambil jalur kiri,” kata ayahnya dengan tegas. “Jalur itu berbahaya dan penuh misteri. Tak ada yang tahu apa yang ada di sana.”

Raka menuruti perintah itu selama bertahun-tahun, hingga suatu hari, takdir memberinya pilihan yang berbeda. Saat musim kemarau tiba, perburuan menjadi semakin sulit. Hewan-hewan mulai jarang terlihat, dan sumber makanan semakin menipis. Di saat yang sama, Pak Wirya jatuh sakit. Kini, tanggung jawab berburu untuk keluarga jatuh ke tangan Raka.

Hari itu, dengan busur dan anak panah di punggungnya, Raka berjalan menyusuri jalur berburu seperti biasa. Namun, saat sampai di persimpangan, ia berhenti. Jalur kanan tampak kosong, sunyi, dan hampir tak meninggalkan jejak kehidupan.

Ia menoleh ke jalur kiri. Jalan itu tertutup semak belukar, seolah mengisyaratkan bahwa sudah lama tak ada yang melewatinya.

Raka mengingat kata-kata ayahnya. Jalur itu dilarang. Namun, bagaimana jika selama ini jalur kiri bukanlah seburuk yang dikatakan? Bagaimana jika justru di sanalah jawabannya?

Dengan hati berdebar, ia melangkahkan kakinya ke jalur yang belum pernah dijajakinya. Perjalanannya tidak mudah. Ranting-ranting besar menghalangi jalannya, dan akar-akar pohon menjulur seperti tangan yang berusaha menahannya. Langkahnya semakin dalam, tetapi rasa takut masih menghantuinya.

“Bagaimana jika ayah benar? Bagaimana jika ada bahaya di sini?” pikirnya.

Namun, ia terus berjalan. Hingga akhirnya, sesuatu yang luar biasa terbentang di hadapannya—sebuah ladang luas yang dipenuhi rusa dan tanaman liar yang bisa dimakan. Mata air jernih mengalir di tengahnya, berkilauan diterpa sinar matahari.

Raka terkejut. Ini adalah tempat yang belum pernah diketahui siapa pun di desanya. Tempat yang bisa menyelamatkan keluarganya, bahkan seluruh desa.

Dengan hati-hati, ia membidik seekor rusa dan melepaskan anak panahnya. Tak butuh waktu lama, buruannya jatuh ke tanah. Raka tersenyum penuh kemenangan.

Saat ia kembali ke rumah dengan hasil buruannya, ibunya menangis haru. Sang ayah, meski masih terbaring lemah, menatapnya dengan mata berbinar.

“Kau mengambil jalur kiri?” tanya Pak Wirya pelan.

Raka mengangguk. “Dan aku menemukan sesuatu yang lebih baik, Ayah.”

Pak Wirya terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kadang, kita harus berani melangkah ke arah yang tak biasa untuk menemukan sesuatu yang lebih baik,” katanya lirih. Sejak hari itu, desa mereka tidak lagi kekurangan makanan. Raka membawa kabar tentang ladang baru itu, dan para pemburu lain mulai mengikuti jejaknya. Raka belajar bahwa dalam hidup, ada saatnya kita harus berani meninggalkan jejak lama dan menciptakan jejak kita sendiri. Jika ia terus mengikuti jalur yang sama, ia takkan pernah menemukan sesuatu yang lebih baik.

Ia kini mengerti bahwa persimpangan dalam hidup bukanlah sekadar pilihan, tetapi juga kesempatan untuk menemukan hal-hal baru yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.

Dan di hutan yang luas itu, jalur kiri yang dulu tersembunyi kini telah menjadi jalan baru yang diikuti banyak orang.