Oleh Sabila Esfandiar
Siapa yang nggak kenal Manchester United? Klub legendaris Premier League ini punya sejarah panjang, segudang trofi, dan fans fanatik di seluruh dunia. Tapi setelah era Sir Alex Ferguson berakhir tahun 2013, United seperti kehilangan arah. Dari klub besar yang ditakuti, kini sering jadi bahan candaan. Mental juara berubah jadi medioker; musim 2024/2025 saja mereka hampir tergelincir ke zona degradasi. Bahkan trofi kecil pun terasa bagai kemenangan besar bagi fansnya.
Apa hubungannya ini dengan regenerasi dalam perjuangan Islam? Ternyata banyak.
Sir Alex Ferguson adalah sosok sentral di United—segala keputusan, strategi, dan manajemen klub bertumpu padanya. Wajar jika setelah ia pensiun, klub kelabakan. Tidak ada perencanaan regenerasi yang jelas. United hanya berganti pelatih, dari yang biasa-biasa saja hingga berlabel juara, tapi sistem modern yang bergantung data dan manajemen strategis tak pernah dibangun. Hasilnya, mereka seperti Frankenstein dari potongan pemain yang kualitas dan visinya tidak selaras.
Bandingkan dengan Manchester City atau Liverpool. City punya Pep Guardiola, tapi juga direktur teknik, scouting system, akademi, dan jaringan global yang rapi. Liverpool sama—sistem mereka tidak tergantung satu orang. Klopp pergi, klub tetap kompetitif karena fondasi sudah kokoh. Semua ini bukan kebetulan, melainkan hasil manajemen sepakbola modern yang terencana.
Pelajaran penting untuk perjuangan Islam: jangan taruh semua pada satu tokoh atau satu generasi. Jika generasi emas itu pergi, perjuangan bisa stagnan bahkan runtuh.
Rasulullah SAW sudah mencontohkan bagaimana membangun umat dengan sistem yang kuat, bukan hanya bergantung pada pribadi beliau. Para sahabat dibina, generasi muda dididik, iman dan akhlak ditanamkan, sehingga setelah beliau wafat, perjuangan tetap berlanjut. Ini adalah regenerasi yang direncanakan, bukan kebetulan.
Kesalahan besar United pasca-Ferguson: mereka terlalu yakin “akan selalu besar”. Terbuai dengan nama besar, tanpa sistem regenerasi dan blueprint jangka panjang. Dunia modern butuh manajemen modern—dan Islam pun begitu. Regenerasi tidak bisa hanya berharap ‘nanti ada yang muncul’. Generasi muda harus dibina, diarahkan, dan diberi peran.
Fans Manchester United tetap setia meski kecewa. Tapi kalau generasi Islam hanya mau jadi “fans” tanpa turun menjadi “pemain”, perjuangan tidak akan berjalan. Anak muda harus belajar, terlibat, dan siap mengambil tanggung jawab. Kekurangan mereka wajar, tapi jangan padamkan semangat mereka. Generasi tua harus memberi bimbingan dan teladan.
Runtuhnya dominasi United mengajarkan kita satu hal: terlalu bergantung pada satu orang bisa menghancurkan organisasi. Klub yang punya sistem regenerasi matang tetap bangkit meski tokoh besar pergi. Begitu pula perjuangan Islam—jika regenerasi dipersiapkan dengan baik, estafet perjuangan tidak pernah berhenti.
Jangan sampai perjuangan Islam bernasib seperti Manchester United: hebat di masa lalu, tapi kehilangan arah di masa depan. Regenerasi tidak ditemukan, ia diciptakan dan direncanakan.
Leave a Reply
View Comments