Kehidupan digital membuat kita tak pernah benar-benar lepas dari arus informasi. Sayangnya, yang sering muncul di layar justru berita buruk, kabar sensasional, dan konten penuh alarm. Menurut para ahli, konsumsi informasi negatif yang berlebihan dapat meningkatkan stres, mengganggu pola tidur, bahkan memperparah keluhan kesehatan tertentu.
Psikolog klinis Logan Jones, PsyD menjelaskan, media sosial dan portal berita kini sering didesain agar orang terus terpaku pada siklus informasi, “Sayangnya, banyak pemberitaan hari ini lebih ditujukan untuk membuat orang terus terpaku pada siklus berita ketimbang sekadar memberi informasi,” kata Jones, dikutip dari Verywell Mind, Sabtu (30/8/2025).
Kondisi kewalahan ini pada akhirnya memicu perasaan cemas, takut, bahkan kelelahan mental. Jika tidak dikelola dengan baik, tekanan psikologis tersebut akan berdampak pada tubuh.
Secara psikologis, manusia memang lebih peka terhadap kabar buruk dibandingkan kabar baik. Hal ini berkaitan dengan naluri bertahan hidup yang membuat otak cenderung lebih cepat bereaksi terhadap potensi ancaman. Isu-isu besar seperti korupsi atau keamanan negara sering dipersepsikan sebagai ancaman serius karena menyangkut rasa aman kolektif.
Ketika seseorang mengonsumsi informasi semacam ini, otak bisa menafsirkan situasi tersebut seolah-olah ancaman itu nyata dan terjadi di sekitarnya, meskipun faktanya jauh dari lokasi tempat ia berada. Pakar kesehatan mental Annie Miller menambahkan, bahkan paparan sekilas seperti siaran berita yang disampaikan dengan nada alarmis—meski hanya terdengar sebagai background noise—tetap memberi dampak psikologis yang negatif.
Saat otak menafsirkan sebuah informasi sebagai ancaman, sistem saraf simpatis teraktivasi dan memicu respons fight or flight. Menurut Annie Miller, kondisi ini meningkatkan produksi hormon stres seperti kortisol dan adrenalin.
“Ketika otak menafsirkan sebuah ancaman, sistem saraf simpatis teraktivasi. Tubuh akan melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin,” ujar Miller.
Dalam jangka pendek, mekanisme ini memang bermanfaat karena membuat tubuh lebih waspada. Namun, bila berlangsung terus-menerus, kadar hormon stres yang berlebihan justru menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Sistem kekebalan tubuh melemah, tekanan darah meningkat, dan muncul keluhan fisik lain seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, serta kelelahan kronis.
Paparan informasi negatif secara berulang dalam waktu singkat dapat menimbulkan gejala seperti sulit tidur, jantung berdebar, perasaan gelisah, hingga kesulitan berkonsentrasi. Pikiran yang terus dipenuhi kecemasan membuat seseorang kehilangan fokus dan mudah merasa lelah. Selain itu, perubahan pola makan juga sering terjadi, baik berupa penurunan nafsu makan maupun makan berlebihan sebagai bentuk pelarian dari stres.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya menjadi lebih serius. Tubuh yang terus berada dalam tekanan stres rentan mengalami hipertensi dan penyakit jantung. Gangguan metabolik seperti obesitas dan diabetes juga bisa muncul karena hormon stres mengganggu keseimbangan gula darah. Tidak hanya itu, masalah pencernaan seperti gastritis dan sindrom iritasi usus kerap dialami, sementara sistem kekebalan tubuh pun melemah sehingga seseorang lebih mudah terserang infeksi. Dengan kata lain, konsumsi berita negatif yang tampak sederhana bisa menjadi pemicu berbagai penyakit kronis.
Tidak semua orang mengalami dampak informasi negatif dengan cara yang sama. Durasi dan intensitas paparan sangat menentukan, semakin sering seseorang mengakses informasi yang bersifat negatif, semakin tinggi pula risikonya. Kondisi psikologis individu juga berperan besar, karena orang yang lebih resilien biasanya mampu menahan efek stres lebih baik. Selain itu, dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas dapat menjadi penyangga emosional yang penting. Faktor lain yang tak kalah penting adalah literasi digital. Kemampuan menyaring dan mengkritisi informasi membantu seseorang menghindari kepanikan berlebih akibat konten sensasional.
Menghindari informasi negatif sepenuhnya tentu tidak realistis di tengah dunia yang serba terhubung. Namun, dampaknya bisa diminimalkan dengan langkah sederhana. Membatasi waktu konsumsi berita, misalnya hanya membaca atau menonton di jam tertentu, dapat membantu menjaga keseimbangan mental. Menyelingi aktivitas dengan hal-hal positif seperti olahraga, meditasi, atau hobi juga terbukti efektif dalam mengurangi stres. Selain itu, memilih sumber berita yang kredibel akan menghindarkan kita dari konten yang berlebihan dan tidak akurat. Tidak kalah penting, membangun interaksi sosial yang sehat dengan orang-orang yang memberi dukungan emosional dapat memperkuat daya tahan psikologis sekaligus fisik.
Informasi negatif bukan sekadar masalah psikologis, tetapi juga berdampak nyata pada kesehatan fisik. Paparan berlebihan dapat meningkatkan stres, mengganggu pola tidur, dan melemahkan daya tahan tubuh. Para ahli menegaskan bahwa tubuh kita merespons informasi seolah-olah menghadapi ancaman nyata, sehingga hormon stres terus diproduksi dan menimbulkan efek jangka panjang.
Dengan kesadaran digital, pemilihan sumber berita yang bijak, dan gaya hidup seimbang, kita bisa tetap sehat baik secara mental maupun fisik meski berada di tengah derasnya arus informasi.
Leave a Reply
View Comments