Di era digital seperti sekarang, peran guru sedang diuji habis-habisan. Kalau dulu guru adalah sumber utama pengetahuan, kini anak-anak bisa menemukan jawaban lewat Google, menonton video penjelasan konsep di YouTube, bahkan bertanya langsung ke chatbot canggih yang bisa menulis esai atau menyelesaikan soal matematika. Pertanyaannya jadi sederhana tapi menohok: kalau mesin sudah bisa memberikan informasi begitu cepat, untuk apa lagi ada guru?
Jawabannya justru ada di sana—guru bukan sekadar penyampai isi buku, melainkan orang yang membentuk pengalaman belajar, membimbing cara berpikir, dan menanamkan nilai-nilai yang tidak bisa digantikan mesin. Teknologi bisa menampilkan data, tetapi tidak bisa membaca ekspresi seorang murid yang kehilangan semangat, tidak bisa memberi pelukan simbolis lewat kalimat motivasi yang lahir dari empati, dan tidak bisa merasakan kegigihan seorang anak ketika akhirnya paham setelah berkali-kali gagal. Di titik ini, guru hadir sebagai sosok yang memberi nyawa pada proses belajar, bukan sekadar pengisi kepala dengan hafalan.
Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Banyak guru di berbagai daerah masih belum mendapat pelatihan memadai untuk menggunakan teknologi secara efektif. Ada yang hanya sekadar bisa membuka aplikasi presentasi, ada pula yang belum terbiasa menggunakan platform digital untuk pembelajaran interaktif. Akibatnya, teknologi yang seharusnya jadi penolong justru bisa memperlebar jurang kualitas antara sekolah di kota dengan sekolah di pinggiran. Anak-anak di daerah perkotaan bisa menikmati pembelajaran hybrid yang keren, sementara di desa, guru dan murid bisa saja masih berjuang dengan koneksi internet yang terputus-putus.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa digitalisasi pendidikan bukan sekadar soal membagikan tablet atau memasang Wi-Fi di sekolah. Tanpa dukungan pelatihan guru yang berkelanjutan, teknologi hanya akan jadi pajangan. Guru butuh kesempatan untuk belajar, mencoba, gagal, lalu diperbaiki lewat bimbingan dan mentoring. Sama seperti murid, guru juga butuh ruang untuk berkembang. Sayangnya, seringkali pelatihan guru soal teknologi hanya sebatas webinar satu kali atau materi PDF yang menumpuk di folder laptop—bukan pendampingan yang sungguh-sungguh memberi dampak pada kelas.
Padahal kalau diarahkan dengan benar, teknologi punya potensi besar. Bayangkan seorang guru bisa menggunakan aplikasi pembelajaran untuk menyesuaikan tempo dengan kebutuhan tiap murid: yang cepat bisa diberi tantangan lebih, yang lambat bisa mendapat penjelasan tambahan tanpa harus merasa tertinggal. Bayangkan pula guru bisa terbantu dari sisi administrasi: nilai otomatis tercatat, kuis bisa dinilai instan, dan analisis data belajar bisa menunjukkan di mana murid sering salah. Waktu guru yang biasanya habis untuk pekerjaan teknis bisa dialihkan untuk berdialog lebih dalam dengan murid, membangun keterampilan berpikir kritis, atau bahkan sekadar mendengarkan curhat sederhana yang membuat anak merasa dihargai.
Tapi ada juga sisi gelapnya. Ketika sekolah bergantung pada platform digital milik perusahaan besar, ada risiko bahwa kurikulum akan dikendalikan dari luar, bahwa guru hanya jadi operator sistem, bukan pemilik proses belajar. Belum lagi soal privasi data siswa—hasil kuis, catatan perilaku, hingga kebiasaan belajar bisa saja dipakai untuk kepentingan komersial. Teknologi juga membawa dilema baru: bagaimana cara menilai tugas jika siswa bisa menggunakan AI untuk menulis esai atau menjawab soal? Kalau guru hanya terpaku pada hasil akhir, proses belajar bisa hilang ditelan otomatisasi.
Karena itu, tantangan terbesar bukan menolak atau menerima teknologi, melainkan bagaimana menempatkannya. Guru harus diposisikan sebagai aktor utama, bukan korban dari arus digitalisasi. Mereka butuh dukungan struktural: pelatihan yang konsisten, kebijakan yang melindungi data murid, kurikulum yang menekankan literasi digital, serta mekanisme evaluasi yang menghargai peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar penyalur materi.
Ada negara-negara yang mulai serius menggarap hal ini dengan cara sistematis. Mereka tidak hanya membagikan perangkat, tetapi juga menyiapkan pelatihan intensif, coaching, bahkan kebijakan etika AI yang jelas. Hasilnya? Transformasi digital benar-benar terasa di ruang kelas, bukan hanya jadi jargon. Dari sana kita bisa belajar: kunci keberhasilan bukan teknologi itu sendiri, melainkan bagaimana guru diperlengkapi dan diberdayakan untuk memanfaatkannya.
Pada akhirnya, era digital bukanlah ancaman bagi guru, tapi ujian: apakah kita siap melihat guru bukan lagi sebagai “orang yang berdiri di depan papan tulis dan memberi ceramah”, melainkan profesional yang mampu mendesain pengalaman belajar, memandu anak-anak menavigasi banjir informasi, dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang tak bisa diotomatisasi. Jika kita gagal memberdayakan guru, maka teknologi hanya akan memperdalam masalah pendidikan yang sudah ada. Tapi jika kita berhasil, teknologi justru bisa menjadi penguat—membesarkan dampak guru, memperluas jangkauan mereka, dan mengingatkan kita semua bahwa pendidikan selalu tentang hubungan manusia, bukan sekadar algoritma.
Leave a Reply
View Comments