Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 dan 2012 telah mulai memasuki dunia pendidikan sebagai guru. Mereka membawa perubahan signifikan dalam cara mengajar yang mungkin terkesan santai dan berbeda.
Sebagai seorang guru, Gen Z menghadapi perpaduan unik antara tantangan dan kesempatan. Ini bukan hanya tentang bagaimana mengajar peserta didik, tetapi juga menyeimbangkan ekspektasi, memahami karakter peserta didik, memanfaatkan teknologi secara efektif, serta beradaptasi dengan berbagai dinamika yang ada di ruang kelas.
Pengalaman pertama sebagai guru sekolah dasar, saat itu hari pertama mengajar, aku masuk kelas dengan penuh semangat. Siap memberi ilmu, menanamkan nilai, dan tentu saja berharap bisa menjadi guru favorit. Eh, yang terjadi? Salah satu murid nyeletuk, “Kak, kita belajar apa hari ini?” Sejak kapan guru dipanggil ‘kak’?
Bukan cuma murid, rekan-rekan guru pun kadang berpikiran dan memperlakukanku seperti anak bontot karena memang usiaku paling muda. Menjadi yang paling muda juga kadang membuat pendapatku tidak didengarkan. Di ruang guru, mereka suka bercanda dengan berkata, “Kamu tuh kayak anak kami sendiri!” Awalnya, aku ketawa. Tapi lama-lama? Rasanya campur aduk. Ingin dihormati, tapi tetap ingin jadi guru yang dekat dengan murid dan teman sejawat. Dilema, kan?
Saat melangkahkan kaki ke ruang kelas sebagai pengajar, ada perasaan antusias, gugup, dan sedikit ketidakpastian tentang apa yang akan aku hadapi di lapangan. Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di era teknologi, aku merasa memiliki pendekatan dan perspektif yang berbeda terhadap pendidikan.
Namun, aku juga sadar bahwa praktik mengajar di dunia nyata bisa sangat berbeda dari teori yang aku pelajari di bangku kuliah. Terkadang aku menyadari bahwa mengajar bukan hanya tentang menyampaikan materi, melainkan tentang membangun hubungan, memahami kebutuhan peserta didik, dan menciptakan suasana belajar yang mendukung.
Salah satu tantangan terbesar jadi guru Gen Z adalah berusaha membangun otoritas. Di mata murid, aku lebih mirip kakak daripada guru. Mereka nggak segan-segan curhat soal game, tren TikTok, bahkan masalah cinta monyet mereka. Kalau guru lain mungkin dianggap “sosok yang disegani,” aku malah jadi tempat curhat yang asyik. Terkadang menyenangkan, tapi kadang juga membuat sulit ketika aku harus menegur mereka saat mereka nakal.
Namun, seiring waktu, aku sadar ada sisi positifnya juga. Dengan menjadi ‘teman’ bagi murid, aku lebih mudah memahami pola pikir mereka, tahu bagaimana menyampaikan materi dengan cara yang menarik, dan bisa menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Meskipun butuh usaha lebih untuk mendapatkan respek, setidaknya aku tahu mereka nyaman denganku.
Jadi, meskipun sering dianggap anak kecil, aku bangga jadi guru Gen Z. Aku bukan sekadar ‘guru muda yang lucu’ atau ‘anak kecil yang kebetulan ngajar,’ tapi seseorang yang bisa mengubah cara mereka belajar dan melihat dunia. Dan siapa tahu, suatu saat nanti, mereka akan mengingatku bukan sebagai ‘guru yang kayak kakak sendiri,’ tapi sebagai guru yang memberi mereka inspirasi.
Leave a Reply
View Comments