Oleh Fitri Utami
Akhirnya hari itu datang juga. Notifikasi masuk:
“Saldo Anda telah bertambah.”
Wajahmu refleks tersenyum. Gaji pertama.
Dua kata yang sederhana, tapi menyimpan banyak rasa: bangga, lega, haru, dan juga… bingung.
Buat sebagian orang, gaji pertama adalah momen sakral. Sebuah tonggak awal. Setelah sekian lama jadi anak sekolahan, mahasiswa, atau pekerja magang, akhirnya sekarang digaji beneran. Rasanya bukan cuma kayak dapat uang, tapi kayak naik level dalam hidup.
Lalu, muncul pertanyaan:
“Mau dipakai apa dulu, ya?”
Traktir keluarga? Beli sesuatu yang selama ini cuma bisa dikagumi dari etalase? Nabung dulu, atau sedekah dulu? Self-reward, atau langsung ke cicilan?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat umum, dan sangat manusiawi. Karena gaji pertama bukan sekadar tentang angka yang masuk ke rekening. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi rezeki, dan bagaimana kita memulai kebiasaan finansial yang akan kita bawa bertahun-tahun ke depan.
Tentang Rasa Syukur
Banyak orang memilih untuk menggunakan gaji pertamanya sebagai bentuk rasa syukur. Ada yang menghadiahi orang tua, sekadar uang belanja kecil atau makan bersama. Ada yang menyisihkan sebagian untuk sedekah diam-diam. Ada juga yang menuliskan target jangka panjang: tabungan pernikahan, dana umrah, investasi sosial.
Semua bentuk rasa syukur itu baik, selama dilakukan dengan kesadaran dan niat yang lurus. Karena bersyukur itu bukan cuma diucapkan, tapi juga ditunjukkan lewat tindakan.
Dan di titik ini, penting bagi Generus untuk menyadari bahwa rezeki adalah amanah. Ia bukan milik kita sepenuhnya, karena ada hak orang lain di dalamnya. Juga ada tanggung jawab akhirat di balik tiap rupiah yang kita belanjakan.
Tentang Prioritas
Gaji pertama juga bisa jadi cermin:
Apa yang paling penting buat kita?
Apa yang langsung kita keluarkan tanpa ragu?
Apa yang kita tunda-tunda, walau sebenarnya perlu?
Saat kita punya uang sendiri, kita akan sadar, hal yang dulu cuma wacana akan diuji langsung: Niat menabung, niat bantu keluarga, niat hidup sederhana. Semuanya akan tampak dari ke mana gaji pertama kita pergi.
Dan ini bukan tentang sempurna. Tapi tentang belajar jujur pada diri sendiri. Kalau ternyata impulsif, ya dievaluasi. Kalau ternyata boros, ya diluruskan. Kalau ternyata pelit, ya diperbaiki. Karena semua orang pasti belajar dari pengalaman pertamanya—dan itu sah. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergeser dua kaki seorang hamba pada Hari Kiamat hingga dia ditanya tentang: umurnya untuk apa dihabiskan, ilmunya untuk apa diamalkan, hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan, serta tubuhnya untuk apa digunakan.” (HR. Tirmidzi no. 2417)
Hadis ini menegaskan bahwa uang bukan cuma tentang mencari. Tapi juga soal dipakai untuk apa. Karena yang akan ditanya bukan hanya “dari mana kamu dapat uang”, tapi juga, “kamu habiskan buat apa?”
Dan jawaban itu dimulai dari gaji pertama. Kalau kamu belum terima gaji pertama, kamu justru sedang di momen terbaik untuk merencanakan. Coba catat keinginanmu, niatkan mana yang utama, mana yang bisa ditunda. Ingat bahwa menunda bukan berarti menolak kebahagiaan, tapi memberi ruang untuk kebijaksanaan.
Kalau kamu sudah melewati gaji pertama dan merasa “nggak ideal”, itu pun nggak apa-apa. Hidup selalu bisa diulang. Karena yang terpenting bukan awal yang sempurna, tapi arah yang terus diperbaiki.
Jadi, gaji pertamamu mau dibawa ke mana?
Leave a Reply
View Comments