Ilustrasi 2 cangkir teh. Foto: istock

Dua Cangkir Teh

Oleh Thifla Thuwaffa

Kata orang ‘waktu itu tidak bisa diulang, maka gunakan sebaik-baiknya agar tidak menyesal’ karena jika sudah berlalu, maka alat secanggih apapun tidak akan bisa mengembalikannya. Kalau aku diberi kesempatan meminta apapun mungkin aku akan meminta mesin waktu yang dimiliki Doraemon.

Kulangkahkan kakiku secara perlahan, mengendap-endap memperhatikan sekitar agar tidak ada yang melihat persis seperti seorang pencuri, bedanya aku tidak berniat mencuri apapun. Lagipula untuk apa mencuri di rumah sendiri? Kau mau tau apa yang kuhindari?

“Nayla? Kamu mau kemana? Sini temani oma” Nenekku.

Kuhentikan langkahku, kikuk. Memikirkan alasan yang paling dapat diterima dengan waktu singkat itu tidak mudah.

“Eh, anu. Nayla mau kerjakan tugas di rumah teman, Oma. Boleh ya?” aku memelas, memasang wajah seperti anak kucing kelaparan yang minta diberi makan.

“Kan masih liburan, temani Oma saja.” Nenekku tersenyum, menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Oke, alasanku tidak diterima dan aku tidak bisa menolak. Kulangkahkan kakiku dengan berat hati. Nenekku tersenyum melihatku duduk di sebelahnya. Sepasang kursi rotan dengan meja kecil di tengahnya menghadap ke taman belakang. Tempat yang tepat jika ingin melihat matahari terbenam kala senja. Tapi tetap saja aku tidak suka, jika aku melihat matahari tenggelam di tempat itu artinya aku sedang menemani nenekku.

“Kau tau Nayla? Pada zaman oma dulu…”

Oma mulai ceritanya lagi. Kau tau kan, orang tua itu senang sekali bercerita keadaan pada saat muda dulu, membedakan anak muda pada zamannya dengan zaman sekarang. Persis seperti kaset rusak, bukan ingin mencela tapi memang seperti itu. Aku bahkan sudah mendengarkan cerita ini lebih dari puluhan kali, hingga aku hapal jalan ceritanya.


Aku Nayla siswi kelas satu SMA yang tinggal bersama nenekku. Tinggal bersama nenek adalah pilihanku. Pekerjaan orangtuaku mengharuskan untuk berpindah-pindah setiap enam bulan sekali yang membuatku malas untuk beradaptasi di tempat baru, Oleh karena itu aku memilih tinggal bersama nenek. Setidaknya kenangan masa SMA-ku berakhir dengan manis, bukankah masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan? Entahlah. Tapi ternyata perkiraanku meleset.

Dua cangkir teh dan satu teko porselen itu akan berada di meja rotan setiap sore. Lengkap dengan biskuit atau cracker sebagai kudapan. Kau sudah tau kan siapa yang menyiapkannya? Tentu saja bukan aku, tapi nenekku. Oma selalu duduk di kursi rotan itu setiap sore, kalau aku berhasil kabur maka oma hanya akan menikmati sunset.

Kalau aku menemaninya maka oma akan bercerita panjang x lebar. Kau tau rasanya menemani orang tua setiap hari sedangkan jiwa mudamu bergejolak? Hei, aku ini masih remaja, aku ingin bermain dengan teman-temanku.

Aku harus mengatakannya sekarang, pikirku. Kalau tidak maka berakhirlah cerita remajaku yang menyenangkan, tergantikan dengan obrolanku dengan oma setiap sore di teras rumah.

“Oma, kenapa sih setiap sore Nayla harus nemenin oma? Apalagi cerita Oma cuma gitu-gitu aja. Nayla udah hapal ceritanya. Nayla mau main sama temen-temen Nayla. Nayla mau punya temen. Hang out ke mall, pergi jalan-jalan, refreshing.” Aku bangkit dari kursiku.

Akhirnya aku mengatakannya juga. Tanganku sedikit bergetar. Sebenarnya aku tidak tega tapi bagaimana lagi?

Oma hanya menatapku, pandangannya teduh tapi sendu. Mungkin Oma sudah mempersiapkan diri kalau-kalau akan terjadi seperti ini. “Kamu boleh pergi dengan teman-temanmu,” Oma tersenyum. Apa? Hanya seperti itu? Oma mengizinkanku. Kenapa dari dulu tidak kulakukan?

Sejak saat itu, aku tidak lagi mengendap-endap jika ingin keluar rumah. Aku sudah jarang menemani Oma mengobrol seperti yang biasa kulakukan, hanya sesekali jika aku ingin. Dua cangkir teh masih tersedia di meja itu. Oma hanya menatap mentari yang akan meninggalkan senja. Apa Oma berharap aku akan menemaninya lagi? Mengapa Oma membuat dua cangkir? Ah sudahlah, toh Oma juga sudah mengizinkanku.


Masa SMA-ku berakhir dengan menyenangkan, sesuai ekspektasi remaja pada umumnya. Kini aku bersiap untuk menjadi agent of change alias mahasiswa dan harus pergi meninggalkan Oma untuk waktu yang lama. Aku berpamitan dan mencium tangan Oma yang sudah banyak keriputnya. Kulirik meja rotan itu. Ah, padahal Oma tau aku akan pergi kenapa masih membuatkan teh untuk dua orang?

Aku disibukkan dengan kegiatan kuliah dan organisasiku sehingga aku jarang pulang kecuali saat liburan semester. Sesekali aku menelpon Oma. Kapan ya terakhir aku menghubungi Oma? Sebulan? Ah, jadi rindu dengan obrolan kami di sore hari. Ketika libur nanti aku akan menemaninya seperti saat SMA dulu. Apa oma masih menyiapkan teh untukku ya? Lamunan rinduku buyar ketika handphone ku berdering

“Assalamualaikum. Nayla, kamu pulang ya.” “waalaikum salam. Ada apa pa?” “Oma sudah tidak ada” “tidak ada bagaimana?”

“Oma sudah meninggal. Kamu pulang ya nak. Besok Oma akan dimakamkan”. Jantungku berdegup cepat, tanganku gemetaran. Tunggu, bagaimana mungkin? Oma selama ini sehat-sehat saja. Kenapa tiba-tiba?

Bendera kuning itu berkibar di depan rumahku. Banyak kursi dan para tamu di halaman. Jadi ini nyata? Mama menghampiriku dan menuntunku masuk. Matanya sudah sembab karna menangisi ibundanya. Apa aku akan sanggup melihat oma untuk yang terakhir kalinya? Beberapa kali aku mengoyangkan tubuh Oma yang sudah kaku, berharap Oma masih bisa bangun dan ini semua hanya mimpi. Kulihat raut wajah Oma, teduh. Aku memeluknya untuk yang terkahir kalinya. Dan besoknya Oma dimakamkan.

Dua kursi dan satu meja yang terbuat dari rotan itu masih tetap sama. Dua cangkir teh dan teko porselen juga masih ada disana. Bedanya kini aku yang menyiapkan semua itu, dengan Oma yang tersenyum ke arahku meski hanya dalam bentuk foto yang terbingkai. Tidak ada yang berubah kan Oma?