Displaced Journalists: Ketika Nulis Nggak Lagi Digaji. Ilustrasi: Lokawarta.com

Displaced Journalists: Ketika Nulis Nggak Lagi Digaji

Ada yang berubah dari dunia media belakangan ini. Mungkin kamu juga udah dengar, atau justru ngalamin sendiri: PHK massal di berbagai media besar. Nama-nama yang dulu kita anggap ‘raksasa’—Kompas, Republika, MNC, Liputan6, bahkan grup-grup media online seperti Tribun dan Jawa Pos—semuanya mulai melepas para wartawannya. Bukan satu dua orang, tapi ratusan. Ada yang bilang bahkan ribuan.

Mereka yang dulu kerja di ruang redaksi dengan deadline yang ngebut, suara keyboard yang nggak pernah berhenti, dan diskusi serius soal judul berita, sekarang harus berhadapan dengan surat PHK dan pertanyaan besar: “Selanjutnya gue harus ngapain?”

Muncullah istilah baru yang pelan-pelan mulai dipakai banyak orang: Displaced Journalists. Bukan cuma label, tapi semacam identitas baru buat mereka yang dulu hidup dari kata-kata, tapi sekarang nggak lagi punya tempat di industri media yang makin sempit.

Mereka bukan nggak kompeten. Justru sebaliknya, banyak dari mereka adalah jurnalis senior, punya pengalaman bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Tapi sekarang, kemampuan menulis berita, wawancara narasumber, dan menyusun narasi faktual bukan lagi jaminan buat tetap digaji. Dunia berubah terlalu cepat.

Sekarang algoritma lebih menentukan apa yang dibaca orang. Tulisan yang viral lebih dihargai daripada yang akurat. Dan mesin—ya, kecerdasan buatan—bisa nyusun ringkasan berita dalam hitungan detik. Lebih murah, lebih cepat, dan nggak pernah minta gaji atau cuti.

Di satu sisi, kita bisa bilang ini adalah perkembangan teknologi. Tapi di sisi lain, ada yang terasa hilang: kepercayaan, kedalaman, dan… makna.

Buat sebagian jurnalis, kehilangan pekerjaan berarti juga kehilangan identitas. Mereka nggak sekadar kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan rutinitas, panggilan, dan komunitas.

Tapi nggak semua pasrah. Banyak di antara mereka yang mulai nyari jalan baru. Ada yang bikin newsletter pribadi di Substack, jadi mentor nulis buat anak-anak muda, bikin podcast investigasi, atau gabung ke komunitas jurnalis independen. Bahkan ada yang pakai teknologi (termasuk AI) sebagai alat bantu, bukan lawan.

Mereka bukan lagi bagian dari media besar, tapi jadi suara-suara kecil yang justru lebih jujur dan dekat dengan pembacanya. Menulis bukan buat halaman depan, tapi buat hati orang-orang yang masih mau baca dengan pelan.

Sebagai generasi muda yang tumbuh di era digital, kita mungkin nggak kebayang kerja di kantor berita. Tapi bukan berarti kita nggak bisa belajar dari mereka. Para displaced journalists ini nunjukin satu hal penting: kemampuan berpikir kritis, nulis dengan nurani, dan menjaga kejujuran itu tetap relevan—meski medianya berubah.

Mereka bukan sekadar korban PHK. Mereka adalah bukti hidup bahwa profesi bisa hilang, tapi makna nggak pernah benar-benar mati. Dan selama ada orang-orang yang mau menulis dengan jujur, cerita-cerita penting akan tetap menemukan jalannya.

Jadi, buat kita yang masih belajar, masih cari arah, atau justru udah mulai bikin konten: jangan cuma kejar views. Kejar juga value. Karena dunia bisa berubah, tapi kata-kata yang ditulis dari hati… tetap punya tempat.

Kalau satu hari nanti tulisanmu nggak lagi tayang di media besar, bukan berarti lo gagal. Bisa jadi, itu justru langkah awal menuju suara yang lebih otentik, lebih bebas, dan lebih berdampak.

Dan siapa tahu, dari generus kayak kita, lahir gelombang baru—bukan displaced journalists, tapi reinvented storytellers.