Tragedi 1998. Ilustrasi Gambar: Canva.com

Dampak Penghapusan Sejarah Pemerkosaan Massal 1998: Luka Kolektif, Perempuan, dan Negara yang Berdusta

Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin

Bayangkan sebuah negara yang membangun masa depannya dengan menyangkal masa lalunya. Bayangkan generasi muda, khususnya perempuan, tumbuh tanpa tahu bahwa dua puluh tahun sebelum mereka lahir, tubuh-tubuh perempuan lain pernah dijadikan medan kekuasaan, objek kebencian rasial, dan korban dari kekacauan politik. Bukan hanya dijadikan korban tapi juga dilupakan.

Inilah yang mungkin terjadi jika benar pemerintah Indonesia menghapus sejarah pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Jika hal ini dibiarkan, maka yang sedang dibangun bukanlah bangsa yang lebih damai—melainkan bangsa yang penuh ilusi. Dan perempuanlah yang pertama-tama akan menjadi korban dari kebohongan kolektif ini.

1. Penghapusan Sejarah Adalah Kekerasan Sekunder

Kekerasan seksual tidak selesai ketika tubuh korban berhenti berdarah. Ia berlanjut dalam bentuk kekerasan simbolik yaitu saat kisah korban dihapus, diragukan, dan diredam oleh negara.

Ketika sejarah pemerkosaan massal 1998 dihapus, maka negara tak hanya menghindari tanggung jawab moral dan hukum, tapi juga melakukan kekerasan ulang terhadap para penyintas.

Mereka, yang sudah dihancurkan tubuh dan jiwanya, kini juga dihancurkan ingatannya.

Dan bagi generasi perempuan hari ini, pesan ini membekas kuat: “Negaramu tidak akan melindungimu. Bahkan ia bisa berpura-pura kamu tak pernah disakiti.”

2. Mewariskan Amnesia Kolektif yang Berbahaya

Amnesia sejarah bukanlah ketidaksengajaan. Ia adalah proyek politik. Negara memilih mana yang ingin dikenang dan mana yang ingin dilupakan. Dalam banyak kasus, yang dilupakan adalah hal-hal yang akan mencoreng wajah elite, mengguncang tatanan kekuasaan, atau membuka luka sosial yang belum pernah disembuhkan.

Tapi bagi perempuan, lupa berarti rawan. Lupa artinya membuka kembali pintu kekerasan.

Jika bangsa ini lupa bahwa tubuh perempuan pernah dijadikan alat intimidasi politik, bagaimana bisa kita berharap aparat, birokrat, atau bahkan warga biasa memahami pentingnya hak perempuan atas tubuhnya hari ini?

3. Kekuasaan Menulis Sejarah: Siapa yang Punya Hak Bicara?

Apa yang kita sebut “sejarah” sesungguhnya adalah hasil kontestasi narasi. Dalam kasus Mei 1998, negara lebih sering berbicara soal “kerusuhan”, “kebakaran”, “penjarahan”, tetapi diam membatu tentang pemerkosaan massal. Padahal peristiwa itu nyata: disaksikan, dicatat oleh berbagai lembaga independen, bahkan oleh Komnas Perempuan.

Menghapus sejarah ini sama saja menegaskan bahwa ‘tubuh perempuan bukan subjek sejarah, tapi hanya kerusakan sampingan’ yang bisa dibersihkan dari narasi nasional.

Apakah kita akan terus hidup dalam sejarah yang ditulis oleh mereka yang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya ditelanjangi bukan karena cinta, tapi karena etnis dan jenis kelaminmu?

4. Bahaya Legitimasi Diam: Negara Mengajari Kita Membungkam Diri

Bagi pelajar dan mahasiswa perempuan, penghapusan sejarah ini adalah pesan yang sangat berbahaya:

  • Bahwa kebenaran tidak akan dilindungi,
  • Bahwa berbicara hanya akan membuatmu jadi target,
  • Bahwa diam adalah pilihan yang aman.

Ini tidak hanya membunuh daya kritis, tapi juga membunuh keberanian eksistensial perempuan untuk mengklaim ruangnya sendiri dalam sejarah dan kehidupan publik.

5. Rape Culture Diperkuat oleh Negara yang Melupakan

Kultur pemerkosaan (rape culture) bukan hanya soal lelucon seksis atau cara berpakaian disalahkan. Ia hidup dari penyangkalan kolektif: saat masyarakat dan negara bersama-sama menyapu kekerasan seksual di bawah karpet dan menganggapnya aib korban, bukan kejahatan pelaku.

Jika negara menghapus peristiwa 1998 dari sejarah kita, maka ia secara tidak langsung melegitimasi bahwa kekerasan seksual adalah hal yang bisa diabaikan, dimaafkan, bahkan dilupakan.

Maka generasi pelajar perempuan hari ini tumbuh dalam sistem yang tidak hanya gagal melindungi mereka, tapi juga berkontribusi dalam membentuk dunia yang membahayakan mereka.

6. Membunuh Harapan akan Keadilan

Bagi korban kekerasan seksual, pengakuan adalah langkah pertama menuju keadilan. Penghapusan sejarah sama saja dengan menutup pintu keadilan, bahkan sebelum ia bisa diketuk. Lebih dari itu, ini memberi sinyal bahwa:

  • Keadilan itu selektif.
  • Perempuan harus diam jika ingin selamat.
  • Negara tidak berpihak pada yang lemah, tapi pada stabilitas palsu.

Bagaimana generasi mendatang bisa percaya pada sistem hukum, jika negara sendiri menyangkal kejahatan masa lalunya?

7. Menghapus Sejarah = Menghapus Pelajaran Moral

Generasi masa kini butuh lebih dari sekadar pengetahuan teknis. Mereka perlu narasi moral. Mereka perlu tahu bahwa negara ini pernah gagal melindungi warganya—dan belajar darinya. Mereka perlu tahu bahwa tubuh perempuan bukan alat politik, dan bahwa kebencian rasial bukan ekspresi politik, tapi kejahatan. Tanpa itu, pendidikan hanya jadi alat reproduksi kekuasaan, bukan pembebasan.

Penghapusan sejarah adalah bentuk reviktimisasi: menyakiti korban untuk kedua kalinya. Para penyintas akan merasa bahwa pengalaman mereka tidak pernah dianggap nyata atau penting. Secara psikologis ini bisa memperburuk trauma dan memperkuat rasa malu, bersalah, atau bahkan mendorong depresi.

Kita Tak Bisa Diam

Penghapusan sejarah pemerkosaan massal 1998 bukan hanya soal hilangnya satu bab dalam sejarah kita. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran, terhadap perempuan, terhadap kemanusiaan.

Dan jika kita diam, maka kita juga sedang ikut melanggengkan kekerasan yang sama dalam bentuk yang lebih halus tapi tak kalah mematikan.

Hari ini, pelajar dan mahasiswa perempuan mungkin belum tahu apa yang terjadi di tahun 1998. Tapi jika mereka tidak tahu, itu bukan salah mereka. Itu kesalahan kita karena membiarkan sejarah yang paling penting, malah jadi yang paling sunyi.

Kita tidak sedang bicara masa lalu. Kita sedang bicara masa depan: tentang generasi perempuan yang berhak tumbuh dalam dunia yang tahu bagaimana luka dimulai, agar ia tahu bagaimana menghentikannya.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

  • Mengarsipkan sejarah alternatif. Lembaga swadaya masyarakat, media independen, dan para pendidik bisa membuat arsip digital, buku, dan kurikulum alternatif agar cerita-cerita para penyintas tidak hilang.
  • Edukasi dari bawah. Komunitas, sekolah informal, dan organisasi mahasiswa bisa membuat forum diskusi dan pendidikan tentang sejarah 1998. Kita juga bisa berisik melalui sosial media yang kita punya agar , setidaknya, followers kita tahu ada yang sedang tidak baik dan harus diperbaiki.
  • Menguatkan solidaritas. Terutama antar perempuan lintas generasi, agar tragedi semacam itu tidak pernah lagi terjadi, dan suara perempuan tidak pernah lagi dipinggirkan.