Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin
Bayangin kamu punya anak yang udah kamu tunggu-tunggu selama puluhan tahun. Kamu udah tua, rambut udah memutih, tulang-tulang udah gak sekuat dulu, tapi di tengah kerentaan itu, Allah ngasih kamu hadiah terindah: seorang anak yang lembut, patuh, dan penuh harapan. Lalu, di puncak kebahagiaan itu, datang perintah: “Sembelih anakmu.”
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail emang seikonik itu. Kisah yang gak cuma jadi sejarah, tapi juga jadi fondasi spiritual dari salah satu hari besar umat Islam: Idul Adha. Di balik gemuruh takbir dan harumnya daging kurban yang dibakar, tersimpan cerita tentang cinta, ketaatan, dan ujian yang levelnya gak main-main.
Nabi Ibrahim udah ngelewati banyak hal dalam hidupnya. Dari kecil udah jadi “anak aneh” di mata masyarakat karena gak mau nyembah berhala kayak orang-orang lain. Bahkan ayahnya sendiri, Azar, adalah pembuat patung. Tapi Ibrahim kecil punya insting tajam: gimana mungkin patung buatan manusia bisa jadi Tuhan? Akalnya gak bisa nerima. Dan dari sinilah perjalanannya mencari Tuhan dimulai.
Tapi bukan itu bagian paling dramatis dari hidupnya. Ujian terbesarnya justru datang setelah ia mendapatkan apa yang paling ia cintai: Ismail.
Setelah menanti anak selama bertahun-tahun, bahkan ketika harapan secara logika udah sirna, Allah mengabulkan doanya. Ismail lahir dari rahim Hajar, seorang perempuan yang juga luar biasa sabarnya. Tapi ujian gak berhenti di situ. Ketika Ismail masih bayi, Allah nyuruh Ibrahim buat ninggalin mereka berdua di padang pasir yang gersang: Makkah.
Bayangin, ninggalin istri dan anak di tempat yang gak ada air, gak ada rumah, cuma pasir dan panas. Tapi Ibrahim jalanin itu. Karena dia percaya, Allah gak mungkin zalim. Dan benar aja, dari tanah gersang itu akhirnya muncul sumur zamzam, muncul kota Makkah, dan muncul sejarah panjang peradaban Islam.
Lalu bertahun-tahun setelah itu, ketika Ismail udah remaja, udah mulai bisa bantu-bantu bapaknya, datanglah perintah itu: Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ismail. Perintah yang gak masuk akal secara manusia, tapi masuk akal dalam logika ketaatan.
Apa yang dilakukan Ibrahim? Dia gak langsung panik. Gak langsung nyembelih secara diam-diam atau malah kabur dari perintah itu. Dia justru ngajak bicara Ismail dengan lembut. “Wahai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?”
Dan di sinilah momen yang buat takjub: Ismail gak protes. Gak bilang “Ayah kejam” atau “Ini gak masuk akal.” Dia cuma bilang, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Gila gak? Anak remaja yang siap disembelih karena itu perintah Allah. Dan lebih dari itu, dia sadar bahwa perintah ini datang bukan dari ego atau hawa nafsu, tapi dari Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Akhirnya, Ibrahim pun membawa Ismail ke suatu tempat. Dikatakan dalam riwayat, ia menidurkan anaknya dan mengasah pisaunya. Ia bahkan menutup mata agar gak goyah. Tapi ketika pisau itu diletakkan di leher Ismail, Allah menahan. Pisau itu gak melukai sedikit pun. Allah berfirman, “Wahai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu.” Dan Allah menggantinya dengan seekor domba besar dari surga.
Itulah awal mula perintah kurban. Bukan soal darah dan daging. Tapi soal hati. Soal keikhlasan melepaskan apa yang kita cinta kalau Allah yang minta.
Idul Adha setiap tahun adalah pengingat dari peristiwa ini. Di tengah euforia potong sapi dan kambing, kita sering lupa bahwa sejatinya, kurban bukan tentang hewan. Tapi tentang ego. Tentang rela melepaskan hal-hal yang kita pegang erat demi ridha Allah.
Ada banyak hikmah dari kisah ini yang bisa kita ambil, apalagi di era sekarang yang penuh drama, ambisi, dan obsesi sama dunia.
Pertama, tentang tauhid. Ibrahim bukan cuma orang tua biasa. Dia adalah hamba yang totalitas cinta sama Allah. Gak setengah-setengah. Bagi dia, Allah selalu nomor satu, bahkan di atas cintanya ke anak sendiri. Ini pelajaran besar buat kita yang kadang lebih nurut sama notifikasi HP daripada panggilan adzan. Yang kadang lebih cepat buka DM daripada buka Al-Qur’an.
Kedua, tentang parenting. Lihat gimana Ibrahim ngajarin anaknya. Dia gak maksa, gak marah-marah. Dia ajak diskusi. Ismail pun tumbuh jadi anak yang gak cuma patuh, tapi juga cerdas secara spiritual. Artinya, komunikasi dalam keluarga itu penting banget. Apalagi dalam mendidik anak soal iman.
Ketiga, tentang kesabaran. Baik Ibrahim, Hajar, maupun Ismail, semuanya sabar dalam porsi masing-masing. Hajar sabar di padang pasir. Ismail sabar menerima perintah yang berat. Ibrahim sabar menjalankan perintah yang bisa aja bikin hatinya hancur. Dan kita? Kadang baru kena masalah sinyal lemot aja udah emosi. Belajar sabar dari mereka tuh kayak ngisi ulang batere iman yang sering lowbat.
Keempat, tentang keikhlasan. Kurban sejatinya adalah latihan melepas. Melepas rasa memiliki. Melepas rasa terlalu nyaman sama dunia. Melepas gengsi, melepas amarah, bahkan melepas cita-cita kalau itu menjauhkan dari Allah. Hidup ini pada akhirnya bukan tentang apa yang kita punya, tapi apa yang kita rela tinggalkan demi kebaikan.
Dan kelima, tentang harapan. Meski diuji terus-terusan, Ibrahim gak pernah berhenti berharap pada Allah. Gak pernah ada cerita dia mengeluh atau merasa Allah gak adil. Ini penting banget di zaman sekarang di mana orang gampang banget ngerasa “kok hidup gue gini-gini aja ya?” Padahal bisa jadi, kita sedang dalam skenario Allah yang lebih indah dari yang kita bayangkan.
Kisah ini juga ngajarin kita bahwa gak semua perintah Allah harus selalu bisa kita pahami dulu buat ditaati. Kadang logika kita terbatas. Tapi iman itu bukan soal paham dulu, tapi percaya dulu. Kayak Ismail yang gak minta penjelasan panjang, dia cukup tahu itu perintah dari Allah. Dan itu cukup buat dia patuh.
Idul Adha bukan cuma perayaan. Ia adalah refleksi. Saat kita potong hewan kurban, kita harusnya juga sedang “memotong” sesuatu dalam diri kita. Mungkin sifat egois, mungkin rasa sombong, mungkin ambisi dunia yang berlebihan. Karena kalau Ibrahim bisa melepaskan Ismail, kita juga harus bisa melepas hal-hal yang menahan kita dari jalan Allah.
Dan tau gak yang paling keren? Dari kisah ini juga akhirnya muncul ibadah-ibadah penting dalam Islam: haji, tawaf, sa’i, kurban—semuanya punya akar dari perjalanan keluarga Ibrahim. Artinya, kisah ini bukan cuma buat dikenang, tapi untuk dijalani. Setiap tahun, Idul Adha jadi alarm pengingat: “Masihkah kamu menjadikan Allah sebagai pusat hidupmu?”
Akhir kata, yuk kita lihat kembali diri masing-masing. Apa yang selama ini kita sayangi tapi justru menjauhkan kita dari Allah? Apa yang terlalu kita genggam, padahal mungkin udah waktunya dilepas? Kita mungkin gak diminta untuk nyembelih anak, tapi Allah pasti ngasih ujian sesuai kapasitas. Pertanyaannya: siap gak kita taat, meski rasanya berat?
Kalau Ibrahim bisa, harusnya kita juga bisa. Karena yang penting bukan siapa kita hari ini, tapi seberapa besar kita mau percaya dan patuh pada Allah, bahkan saat semuanya gak masuk akal. Dan di situlah letak keimanan sejati.
Selamat menyambut Idul Adha.
Leave a Reply
View Comments