Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin
Cinta memang rumit. Kadang datang tanpa permisi, kadang pergi tanpa pamit. Kadang kita tahu apa yang kita rasakan, tapi nggak tahu harus berbuat apa. Dan lebih sulit lagi, ketika dua orang saling mencintai tapi nggak bisa Bersatu; ketika hati masih kuat mencintai, tapi keadaan berkata lain. Seperti cerita temanku, yang mungkin juga adalah cerita banyak orang di luar sana.
Awalnya, mereka pacaran. Semuanya berjalan seperti kisah cinta-cinta biasanya: manis, penuh tawa, saling mendukung, dan merasa dunia cuma milik berdua. Tapi entah kenapa, waktu berlalu, mereka memutuskan untuk putus. Alasannya? Nggak sepenuhnya jelas. Bukan karena udah nggak cinta, bukan karena disakiti, tapi karena… ada yang terasa salah. Ada yang nggak sejalan. Tapi anehnya, meski statusnya udah berakhir, hatinya belum benar-benar selesai.
Mereka masih saling komunikasi, masih saling perhatian, bahkan masih saling cemburu. Tapi hubungan mereka sekarang nggak punya nama. Nggak pacaran, tapi juga bukan teman biasa. Hubungan Tanpa Status alias HTS.
Dan di situlah semua jadi rumit.
Antara Cinta dan Keberanian Melepas
Temanku sering cerita, kalau dia sebenarnya ingin mengakhiri semuanya secara utuh. Biar sama-sama tenang. Biar bisa fokus ke diri sendiri dulu, memperbaiki yang rusak, membangun yang belum siap. Tapi hatinya bilang tidak. Ada yang menahannya. Ada rasa sayang yang belum selesai. Dia takut kehilangan sepenuhnya, tapi juga takut terus bertahan dalam ketidakjelasan.
Di satu sisi, dia pengen bilang: “Kita break dulu. Kita fokus perbaiki diri, nanti kalau memang jodoh, kita bisa balik lagi.”
Tapi di sisi lain, dia takut: “Gimana kalau pas aku udah siap, dia udah pergi?”
Aduh, rumit banget, ya?
Cinta Tak Selalu Harus Memiliki
Dari cerita ini, aku belajar satu hal penting:
Cinta, memang, tak selamanya harus memiliki.
Kadang, mencintai seseorang justru diuji saat kita harus berani melepaskannya. Bukan karena kita berhenti peduli, tapi karena kita ingin dia bahagia, bahkan kalau itu artinya bukan sama kita.
Kita sering terjebak dalam pemikiran bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang memiliki. Padahal, ada bentuk cinta yang justru lebih tulus ketika kita mampu berkata, “Aku sayang kamu, tapi aku tahu, ini bukan saatnya untuk bersama.”
Itu bukan kelemahan. Itu keberanian. Keberanian untuk tidak egois. Keberanian untuk tidak menahan seseorang hanya karena kita belum siap kehilangan. Karena kenyataannya, kadang kita bukan nggak bisa memiliki dia, tapi kita belum siap menjadi yang terbaik untuknya.
Cinta dalam Pandangan Islam: Tulus, Bukan Nafsu
Kalau kita balik ke ajaran Islam, cinta bukan hal yang tabu. Bahkan, cinta adalah fitrah. Sesuatu yang alami. Nabi Muhammad pun mencintai istrinya, Khadijah, dengan cinta yang luar biasa. Tapi, Islam mengajarkan satu hal yang sangat penting dalam urusan cinta: arah dan tujuan.
Dalam Islam, cinta harus disalurkan pada jalan yang halal. Artinya, kalau sudah merasa cinta, jangan hanya sekadar menjalani hubungan yang “ngalir aja”, apalagi tanpa komitmen jelas. Hubungan tanpa kejelasan bisa jadi pintu masuk syahwat, bukan kasih sayang yang diberkahi.
Dan Islam mengajarkan bahwa mencintai seseorang tidak berarti harus memiliki orang itu sekarang juga. Kadang, cinta yang paling benar adalah cinta yang bersabar. Menahan diri. Mempersiapkan diri. Memperbaiki diri dulu sebelum melangkah ke tahap selanjutnya.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nur: 26:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
Ayat ini mengajarkan kita bahwa untuk mendapatkan pasangan yang baik, kita juga harus menjadi baik. Jadi kalau belum siap, lebih baik memperbaiki diri dulu daripada memaksakan hubungan yang belum matang.
Cinta yang Benar adalah yang Menguatkan Iman
Hubungan cinta dalam Islam harus menguatkan iman, bukan justru menjauhkan dari Allah. Kalau hubungan itu bikin kita makin sering lalai, makin jauh dari salat, makin banyak dusta, makin mudah tergoda… mungkin itu bukan cinta, tapi jebakan perasaan.
Islam nggak melarang mencintai. Tapi Islam ingin kita mencintai dengan cara yang benar. Bukan sembunyi-sembunyi, bukan sekadar “jalanin aja dulu”. Tapi cinta yang didasari niat baik, dengan proses yang halal, dan penuh tanggung jawab.
Dan, yang lebih penting: kalau memang belum bisa menikah, bukan berarti harus pacaran atau HTS. Bisa kok tetap saling menghargai, mendoakan dalam diam, dan menjaga jarak sambil terus memperbaiki diri.
Seperti kata Ust. Hanan Attaki, “Kalau kamu benar-benar cinta, doakan dia. Kalau memang jodoh, Allah akan satukan di waktu yang tepat.”
Melepaskan Bisa Jadi Bentuk Tertinggi dari Cinta
Dari semua kisah yang aku dengar, ada satu hal yang jadi kesimpulan besar buatku:
Melepaskan orang yang kita cintai, demi kebaikan bersama, adalah bentuk cinta yang paling sulit—tapi juga paling tulus.
Contohnya ada banyak dalam kehidupan sehari-hari.
Kita mungkin pernah melihat seseorang yang memilih mengakhiri hubungan bertahun-tahun hanya karena sadar bahwa keduanya sudah tidak bisa bertumbuh bersama. Bukan karena tak cinta, tapi karena tahu bahwa memaksa bersama justru menyakiti. Mereka memilih jalan terpisah, saling mendoakan dalam diam, sambil memperbaiki diri masing-masing. Sulit? Banget. Tapi justru itulah bentuk cinta yang dewasa.
Atau, orang tua yang dengan berat hati mengizinkan anaknya kuliah jauh di kota lain, bahkan luar negeri. Hatinya ingin si anak tetap di rumah, dekat, bisa dipantau setiap hari. Tapi mereka tahu, melepaskan adalah cara untuk melihat anaknya berkembang. Itu juga cinta—cinta yang memilih diam dalam rindu agar yang dicintai bisa tumbuh dengan baik.
Dalam sejarah Islam pun ada kisah luar biasa soal melepaskan karena cinta: kisah Zainab, putri Nabi Muhammad ﷺ, dengan suaminya Abul ‘Ash bin Rabi’.
Zainab sudah menikah dengan Abul ‘Ash sebelum Islam datang. Tapi setelah Nabi Muhammad ﷺ diangkat jadi Rasul dan membawa Islam, Zainab memeluk Islam, sementara suaminya belum. Ketika terjadi Perang Badar, Abul ‘Ash ikut pasukan musyrik dan tertawan oleh kaum Muslimin. Zainab mengirimkan tebusan untuk membebaskannya, dan Nabi pun memintanya kembali ke Makkah karena perbedaan keyakinan di antara mereka. Keduanya pun berpisah.
Bayangin, Zainab mencintai suaminya. Tapi karena iman, ia rela berpisah. Abul ‘Ash pun tidak membenci Zainab—justru hatinya makin tersentuh. Setelah bertahun-tahun, Abul ‘Ash akhirnya masuk Islam dan datang ke Madinah untuk kembali pada Zainab. Tapi tak lama kemudian, Zainab wafat. Cinta mereka berakhir tak seperti yang dibayangkan, tapi kisah mereka jadi bukti bahwa melepaskan demi kebenaran dan kebaikan bisa jadi bentuk tertinggi dari cinta.
Jangan Takut Kehilangan, Takdir Allah Selalu Adil
Untuk kamu yang sedang di posisi seperti temanku—atau mungkin kamu yang sedang berada dalam hubungan tanpa arah—mungkin ini saatnya untuk jujur pada diri sendiri. Bertanya, “Apakah ini cinta yang sehat? Atau hanya ketakutan akan kesepian?”
Kalau memang hatimu belum siap, tak apa. Tapi jangan abaikan bahwa ketegasan adalah bentuk kasih sayang juga. Kadang, menjaga hati orang lain bukan dengan tetap bersamanya, tapi dengan berani mengucap: “Kita istirahat dulu. Perbaiki diri. Kalau memang jodoh, kita akan dipertemukan lagi.”
Percayalah, kalau cinta itu memang dari Allah, nggak akan ke mana. Tapi kalau bukan, sekuat apapun dipertahankan, tetap akan berakhir.
Jadi, jangan takut kehilangan. Takdir Allah selalu adil. Bisa jadi yang kamu lepaskan hari ini adalah jalan menuju yang lebih baik esok hari.
Dan ingat, cinta sejati adalah yang membuatmu semakin dekat dengan Allah, bukan sebaliknya.
Karena cinta, memang, tak selamanya harus memiliki. Tapi cinta yang benar akan selalu membawa kita pada yang terbaik—meski itu bukan yang kita inginkan sekarang.
“What is meant for you will eventually find you, no matter what!”
Leave a Reply
View Comments