generus indonesia
Ilustrasi Membandingkan.

Berhenti Membandingkan, Mulai Merayakan Diri Sendiri

Di era media sosial hari ini, kita sering terjebak pada kebiasaan menengok ke kiri dan ke kanan. Membuka gawai, lalu melihat orang lain tampak lebih bahagia, lebih kaya, lebih mapan, atau lebih sempurna hidupnya. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah potongan kecil dari kisah mereka—sebuah highlight reel, bukan realitas penuh. Namun, di situlah sering lahir rasa kurang, iri, dan kegelisahan yang merenggut kebahagiaan kita sendiri.

Kebiasaan membandingkan muncul dari budaya kompetisi yang makin kuat, juga dari pola pikir bahwa hidup ini perlombaan. Media sosial membuat standar kebahagiaan menjadi semu: liburan ke luar negeri, barang branded, atau pasangan yang tampak serasi di layar kaca. Akibatnya, banyak orang merasa gagal padahal hidupnya sudah cukup baik.

Dampaknya jelas. Pertama, rasa syukur memudar. Kedua, kepercayaan diri melemah. Ketiga, jiwa jadi penuh beban karena merasa tertinggal. Lebih parah lagi, membandingkan diri bisa memicu iri, dengki, bahkan depresi. Kebahagiaan pun semakin jauh dari jangkauan.

Padahal, setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Fase, ujian, dan rezeki tidak pernah sama. Yang membuat hati lebih tenang adalah ketika kita berhenti menjadikan orang lain sebagai tolok ukur, lalu kembali melihat ke dalam diri. Menjadikan versi diri kemarin sebagai pembanding, bukan pencapaian orang lain hari ini.

Allah SWT menjanjikan balasan bagi mereka yang bersyukur dengan begitu jelas dalam Al Quran:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa kunci bertambahnya nikmat adalah syukur, bukan perbandingan. Membandingkan hanya melahirkan rasa kufur nikmat, sementara syukur melahirkan ketenangan sekaligus tambahan rezeki.

Lalu, bagaimana melatih diri agar tidak terus-menerus membandingkan? Pertama, batasi konsumsi sosial media, atau gunakan dengan kesadaran penuh. Kedua, biasakan diri menulis hal-hal yang patut disyukuri setiap hari. Ketiga, fokus pada pertumbuhan diri, bukan kompetisi semu. Keempat, belajar menghargai keberhasilan orang lain tanpa merendahkan diri sendiri.

Akhirnya, kebahagiaan itu bukan sesuatu yang hilang dari kita. Ia tetap ada, hanya saja sering tak terlihat karena tertutup oleh kebiasaan membandingkan. Saat kita berhenti membandingkan dan mulai merayakan perjalanan diri sendiri, barulah kita bisa merasakan bahwa hidup ini sebenarnya sudah penuh nikmat.