Gambar: protean.or.id

Sandwich Generation: Di Antara Tuntutan, Harapan, dan Cinta

Oleh Sabila Esfandiar

Membayangkan sandwich (roti lapis), kalian pasti terbayang menu makanan lezat yang terbuat dari roti iris, diisi daging atau ayam katsu, ditumpuk dengan sayuran, ditambahkan mayones dan keju, lalu ditutup kembali dengan roti. Lezat, sih, tapi bukan sandwich itu yang akan kita bahas kali ini. Lebih tepatnya sandwich generation—sebuah fenomena yang kini akrab di kalangan anak muda.

Sandwich generation adalah kondisi ketika generasi saat ini harus menanggung beban hidup orang tua, saudara, serta keluarga inti (anak dan pasangan) secara bersamaan, di tengah tekanan sosial dan ekonomi zaman sekarang. Istilah ini berasal dari analogi sandwich, di mana seseorang “terhimpit” antara dua generasi yang sama-sama bergantung secara finansial dan emosional. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh pekerja sosial bernama Dorothy A. Miller pada tahun 1981.

Sebuah penelitian oleh Jakpat tahun 2020 mencatat bahwa 48 persen masyarakat Indonesia tergolong sebagai sandwich generation, dengan proporsi terbesar—juga 48 persen—berusia 20–29 tahun. Artinya, tak sedikit anak muda pada rentang usia tersebut, yang harus mengatur pengeluaran ganda: di satu sisi memenuhi kebutuhan keluarga inti, di sisi lain memberi uang bulanan kepada orang tua atau bahkan membiayai adik-adik mereka.

Sekilas, ini tampak sebagai wujud bakti yang luar biasa dari seorang anak. Namun jika ditelusuri lebih dalam, sandwich generation kerap kali merupakan dampak dari pola perencanaan yang tidak sehat, dan bisa memengaruhi kualitas hidup generasi muda dalam jangka panjang.

Antara Nilai Kekeluargaan dan Tekanan Sosial

Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan gotong royong. Anak muda zaman sekarang menyebutnya sebagai asian value. Tidak ada yang salah dengan nilai itu. Namun dalam praktiknya, nilai tersebut terkadang berkembang menjadi tekanan sosial yang tak seimbang.

Banyak orang tua, secara tidak sadar, mewariskan ketergantungan finansial kepada anak karena tidak menyiapkan hari tua. Ada yang masih menganggap anak sebagai “investasi” yang kelak dapat “dipanen” sebagai bentuk laku bakti.

Di sisi lain, anak-anak muda Indonesia kini menghadapi tantangan biaya hidup yang semakin tinggi: harga properti melambung, pendidikan anak mahal, hingga ketidakpastian ekonomi global. Mereka pun dihadapkan pada dilema—memenuhi kebutuhan diri sendiri atau menunda impian demi membantu orang tua?

Kondisi ini tak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental. Berbagai studi menyebutkan bahwa sandwich generation rentan mengalami stres kronis, kelelahan emosional, bahkan gangguan kecemasan karena merasa terus-menerus “tidak cukup”—baik dari segi waktu, uang, maupun tenaga.

Birrul Walidain dalam Batas Kemampuan

Dalam Islam, berbakti kepada orang tua (birrul walidain) adalah perintah yang sangat mulia. Bahkan, Al Quran menyebutkannya langsung setelah perintah menyembah Allah:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada orang tua.” (QS. Al-Isra: 23)

Namun, Islam juga menekankan keadilan dan kemampuan sebagai tolok ukur kebaikan. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286, Allah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Maka, penting untuk diingat: sandwich generation adalah refleksi dari sistem sosial yang belum sehat secara finansial dan emosional. Tapi bukan berarti tidak bisa diubah. Dengan pola pikir baru, keberanian menetapkan batasan, serta perencanaan yang matang, kita bisa tetap berbakti kepada orang tua tanpa harus kehilangan masa depan kita sendiri.

Agama pun mengajarkan jalan tengah—bukan pengorbanan buta, melainkan cinta yang dikelola dengan bijak. Sudah saatnya generasi muda menata hidup, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk mewariskan sistem yang lebih sehat kepada generasi berikutnya.

Apa yang Bisa Dilakukan oleh Sandwich Generation?

Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan untuk keluar dari lingkaran sandwich generation secara sehat dan berdaya:

1. Literasi finansial sejak dini

Kenalkan dan terapkan literasi keuangan sejak dini, baik untuk diri sendiri maupun anak-anak. Pahami pentingnya dana darurat, investasi, serta perencanaan masa tua (pensiun).

2. Keterbukaan dalam keluarga

Jalin komunikasi yang jujur tentang kondisi keuangan dengan orang tua dan keluarga besar. Tetapkan batas kemampuan, dan beranikan diri untuk berkata “tidak” jika memang tidak mampu—dengan tetap mengedepankan adab dan kasih sayang.

3. Tetapkan prioritas yang seimbang

Berbakti tidak melulu soal memberi uang. Dukungan moral, perhatian, dan kehadiran juga sangat berarti.

4. Dorong kemandirian dalam keluarga besar

Bangun budaya saling bantu dan dorong anggota keluarga untuk mandiri—misalnya lewat beasiswa pendidikan, peluang usaha, atau pelatihan keterampilan.

5. Persiapkan masa tua dari sekarang

Masa lalu tak bisa diubah, tapi masa depan bisa disiapkan. Mulailah merancang pensiun dengan instrumen keuangan yang aman dan syariah, seperti saham syariah, sukuk, dan reksa dana syariah. Ingat, nilai uang akan tergerus inflasi jika hanya disimpan tanpa berkembang.

Menjadi bagian dari sandwich generation memang tidak mudah, tapi bukan berarti tak bisa dijalani dengan bijak. Berbakti tetap bisa dilakukan, tanpa harus kehilangan arah hidup sendiri.