Foto : Business manager

Ironi Estetika Mental Health: Luka Jadi Tren, Capek Jadi Diagnosa

Oleh Fitri Utami

Disclaimer dulu ya, tulisan ini bukan untuk meremehkan atau mengecilkan penderita gangguan kesehatan mental. Depresi, trauma, anxiety, burnout, dan luka batin lainnya adalah hal nyata, serius, dan menyakitkan. Justru karena seserius itu, penting untuk tidak menjadikannya mode, alasan, atau estetika yang kehilangan makna.

Semua Ngomongin Mental Health, Tapi Apa Kita Beneran Ngerti? Sekarang, kayaknya nggak ada hari tanpa denger kata anxiety, inner child, burnout, overthinking, sampai dissociation. Istilah psikologi yang dulu cuma dibahas di ruang terapi atau buku akademis, sekarang jadi bagian dari bahasa sehari-hari. Masuk caption, status, bahkan jadi punchline meme.

Di permukaan, ini kelihatan kayak progres. Kita makin terbuka. Nggak malu ngakuin kalau kita lagi gak baik-baik aja. Kita udah mulai bisa bilang “gue butuh istirahat mental” tanpa takut dicap lemah. Itu bagus.

Tapi di balik itu, ada sesuatu yang mengganggu. Isu kesehatan mental yang serius mulai berubah wujud jadi… lifestyle. Estetika. Branding diri.

Yang awalnya pengen sembuh, jadi pengen dilihat. Yang awalnya pengen pulih, jadi pengen di-notice. Contohnya kayak gini: dulu, healing adalah proses yang sunyi dan tak terburu-buru, tentang luka yang perlahan dirawat, rasa sakit yang tak selalu bisa dibagi, dan waktu yang tak bisa dipaksa. Kini, maknanya bergeser jadi lebih ringan dan instan. Cukup dengan staycation singkat, es kopi susu, lilin aromaterapi, dan playlist bernuansa mellow. Semua dirangkai jadi healing vibes yang estetik. Lalu posting di insatagram dengan latar senja, latte hangat, dan caption berbunyi: “letting go isn’t easy, but I deserve peace.”

Padahal… healing bukan itu.

Healing bukan liburan mewah karena capek kerja dua hari. Bukan belanja impulsif karena “gue pantas bahagia”. Bukan checkout skincare karena lagi bad mood. Healing bukan justifikasi buat lari dari hidup.

Kalau kamu masih bisa kerja, ngobrol, ngonten, dan bercanda di DM, mungkin kamu nggak sedang sakit. Kamu cuma capek. Dan capek itu wajar. Tapi bukan berarti harus dilabeli gangguan mental. Hari ini, self love jadi dalih buat banyak hal. Untuk males, untuk kabur, untuk gak komunikasi. Kita bilang “gue lagi jaga kesehatan mental”, tapi sebenernya cuma nggak mau tanggung jawab. Kita bilang “gue trauma” biar gak ditanya lagi kenapa ghosting. Kita bilang “burnout” padahal cuma bosen.

Self love itu perlu. Tapi bukan berarti semua keputusan impulsif dibungkus “gue sayang diri gue”. Cinta itu kadang menuntut. Kadang nyuruh bangun pagi, kerja keras, dan hadapi realita. Self love yang tulus bukan tentang selalu nyaman, tapi tentang jujur. Termasuk jujur sama kekurangan diri.

Romantisasi Luka: Estetik Tapi Berbahaya Ada momen di mana luka jadi keren. Quotes patah hati bikin kita merasa dalam. Anxiety dijadikan tren. Overthinking dikira tanda bahwa kita “deep thinker”. Trauma dijadiin alasan biar gak berubah.

Kita jadi seneng kelihatan sakit, karena sakit itu “berwarna”. Karena sakit itu—anehnya—lebih valid dari sekadar capek.

Padahal luka yang dirayakan terus, lama-lama enggan disembuhkan. Karena kita takut kehilangan identitas yang dibangun dari rasa sakit itu sendiri.

Diagnosa Diri: Ketika Semua Hal Disebut Mental Illness Ini yang bikin ngeri: kita makin sering mendiagnosa diri lewat TikTok dan carousel Instagram. Lelah sedikit, langsung bilang burnout. Gak nyaman bersosialisasi, langsung klaim social anxiety. Nangis tengah malam, langsung mengira diri depresi.

Kita lupa, diagnosis butuh profesional. Bukan filter IG. Bukan thread X. Kalau semua diklaim sebagai mental illness, maka mental illness itu sendiri kehilangan maknanya. Dan yang beneran sakit, malah tenggelam.

Semua orang pernah lelah. Semua orang pernah down. Tapi itu bukan berarti semua orang mengalami depresi. Ada perbedaan antara emosi yang wajar dan gangguan klinis. Jangan kaburkan garisnya hanya karena pengen punya alasan keren untuk istirahat.

Kalau kita terus-terusan pakai mental health sebagai alasan untuk kabur, pada akhirnya kita malah memperkeruh perjuangan mereka yang benar-benar berjuang melawan sakit—yang gak bisa posting caption puitis karena bahkan bangun tidur aja sudah berat.

Gak semua hal harus dikasih label. Gak semua sedih butuh pembenaran. Kadang, yang kita butuhkan cuma kejujuran. Jujur bahwa kita belum siap. Jujur bahwa kita hanya ingin rehat, bukan sembuh. Jujur bahwa kita juga, masih belajar menghadapi kenyataan. Dan itu pun gak papa. Asal gak dibungkus plastik glitter “healing” padahal cuma numpuk pelarian.

Karena kalau kita terus bilang kita “sedang sembuh”, tapi gak pernah mau hadapi akar luka, mungkin kita gak benar-benar pengen sembuh. Kita cuma pengen tampak… seperti seseorang yang sedang menyembuhkan diri.