Yuk Pahami Konsep Money Dial. Foto: Generus

Kamu Rela Bayar Mahal Buat Apa? Yuk Pahami Konsep Money Dial

Oleh Fitri Utami

Pernah nggak sih kamu lihat orang yang rela ngeluarin uang untuk beli kopi setiap hari, tapi untuk urusan lain dia lebih milih simpel, kayak bawa bekal sendiri, naik kendaraan umum, atau nahan beli barang yang sebenarnya udah lama dia pengen?

Atau mungkin kenal seseorang yang rutin traveling ke luar kota, tapi sehari-harinya tetap hidup sederhana—pakai barang yang udah lama, jarang ganti gadget, dan nggak gampang tergoda diskon?

Lalu kita kadang heran, kok bisa ya mereka “boros” di satu hal, tapi tetap hemat di hal lainnya? Kita yang melihat dari luar mungkin mikir, “Kok bisa sih? Rasanya nggak imbang deh…” Tapi justru di situlah menariknya: mereka bukan boros, mereka hanya tahu apa yang penting buat mereka. Mereka sadar akan apa yang bikin hidup terasa lebih bermakna, dan mereka memilih untuk mengalokasikan lebih banyak energi dan uang di sana—tanpa merasa bersalah.

Konsep ini dijelaskan oleh Ramit Sethi, seorang pakar keuangan personal asal Amerika, dalam bukunya I Will Teach You to Be Rich. Ia memperkenalkan istilah money dial, yang secara sederhana berarti: pengeluaran yang paling kamu nikmati dan kamu nilai tinggi dalam hidupmu. Seperti kenop volume yang bisa dinaikkan, money dial adalah hal yang ingin kamu besarkan dalam hidupmu—karena itu membawa kebahagiaan yang bermakna.

Buat sebagian orang, money dial-nya adalah traveling. Mereka merasa hidup saat bisa menjelajah tempat baru, melihat langit yang berbeda, bertemu orang-orang baru, dan membawa pulang pengalaman yang tak bisa dibeli. Buat yang lain, mungkin itu makanan, mencicipi rasa, eksplor restoran, atau masak resep baru jadi bentuk self-care. Ada juga yang money dial-nya adalah kenyamanan: bisa tinggal di ruang yang tenang, punya peralatan yang praktis, atau cukup waktu untuk beristirahat.

Menariknya, seseorang yang paham money dial-nya akan cenderung rela mengeluarkan uang lebih untuk hal itu, dan tanpa rasa bersalah. Sebaliknya, dia juga tidak akan segan menahan diri di hal lain yang tidak ia anggap penting. Karena dia tahu: hidup bukan soal beli semua, tapi soal memilih.

Sebagai Generus, kadang kita tumbuh dalam lingkungan yang sangat mendorong hidup sederhana. Dan itu baik. Tapi sering kali, itu membuat kita merasa bersalah saat ingin memberi sesuatu untuk diri sendiri. Seolah-olah setiap bentuk kenikmatan dunia harus dihindari, padahal Islam sendiri mengajarkan keseimbangan.

Allah SWT berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.”

(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini tidak hanya jadi pengingat, tapi juga penegasan: kenikmatan dunia itu boleh dinikmati, selama itu halal, tidak berlebihan, dan tidak melalaikan kewajiban. Bahkan, menikmati rezeki dengan rasa syukur juga bentuk ibadah, selama kita tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup utama.

Dengan mengenali money dial, kita bisa mengelola uang lebih sadar. Kita bisa bilang “iya” untuk hal-hal yang bikin kita hidup dengan utuh, dan “nggak” untuk hal-hal yang hanya bikin kita ikut-ikutan. Kita belajar memaknai setiap rupiah yang keluar, bukan sekadar menghitung dan menahan. Kita tetap bisa nabung, tetap bisa sedekah, tetap bisa hidup sederhana, tapi juga tetap bisa senang dan bersyukur tanpa rasa bersalah.

Dan yang paling penting: kita berhenti menghakimi gaya hidup orang lain. Karena kita sadar, setiap orang punya prioritas dan jalan hidup yang berbeda. Bukan tugas kita untuk menilai orang dari cara dia membelanjakan uangnya, selama itu bukan untuk maksiat atau mubazir. Maka boleh jadi itulah caranya bersyukur dan menjaga semangat hidup.

Jadi… kamu sendiri, apa hal yang paling kamu hargai? Apa bentuk pengeluaran yang bukan cuma membuatmu senang sesaat, tapi juga terasa berarti dalam hidupmu? Itulah money dial-mu. Dan mengenalnya bisa jadi salah satu cara terbaik untuk hidup seimbang—antara dunia dan akhirat, antara hemat dan nikmat.