Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin
Hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat sampai garis akhir, tapi tentang siapa yang berani terus berjalan meski jalannya belum kelihatan jelas. Kadang kita berdiri di titik paling membingungkan dalam hidup—di mana semua arah terasa kabur, semua usaha terasa gagal, dan semua harapan terasa menggantung di udara.
Dan mungkin… itulah yang disebut zona kuantum dalam kehidupan.
Dalam fisika, zona kuantum merujuk pada wilayah yang sangat kecil dan tak terlihat, tempat partikel-partikel dasar (seperti elektron) berperilaku secara tak terduga. Di zona ini, hukum fisika klasik yang biasa kita kenal seolah gak berlaku. Partikel bisa berada di dua tempat sekaligus, waktu bisa terasa melambat, dan keadaan bisa sangat tidak pasti.
Nah, kalau dipikir-pikir… hidup kita kadang juga gitu, kan?
Zona di mana gak ada satupun kepastian. Usaha keras belum tentu membuahkan hasil, doa belum tentu langsung dijawab, dan luka belum tentu cepat sembuh. Di zona ini, kita dipaksa untuk tetap melangkah, meski langkah kita goyah. Dipaksa untuk percaya, meski akal sehat kita bilang “udah cukup, nyerah aja.”
Tapi mungkin memang begitulah cara semesta mengajari kita bertumbuh. Dengan membuat kita masuk ke dalam dimensi kuantum kehidupan—ruang tak kasatmata yang menyimpan pelajaran paling berharga: bahwa tidak semua hal bisa dilihat dengan mata, dan tidak semua makna bisa langsung dimengerti.
Pernah gak kita ngerasa udah berjuang mati-matian tapi tetap gak ke mana-mana? Kerja keras dari pagi sampai malam, tapi tetap aja hidup gitu-gitu aja. Atau kita udah mencoba jadi orang baik, sabar, dan tulus, tapi dunia tetap nyakitin kita tanpa alasan?
Itu bukan karena kita salah arah. Bukan karena usaha kita sia-sia. Tapi karena kita lagi ada di fase superposisi kehidupan.
Dalam dunia kuantum, superposisi adalah ketika sebuah partikel bisa berada dalam dua keadaan sekaligus—misalnya, hidup dan mati, di sini dan di sana, ada dan tidak ada. Dan hidup juga begitu. Kita bisa berada di antara gagal dan berhasil, antara menyerah dan bertahan, antara kehilangan dan menerima.
Sampai akhirnya… waktu akan menunjukkan kita sedang menuju ke mana. Tapi sebelum itu terjadi, tugas kita adalah tetap berada di dalam eksperimen itu. Terus hidup. Terus mencoba. Terus merasa.
Hidup juga sering datang dengan turbulensi—guncangan tak terduga yang bikin kita hampir hilang arah.
Dalam fisika fluida, turbulensi adalah aliran kacau yang tak teratur dan penuh kejutan. Dan itulah yang sering kita alami: hidup terasa bergolak, perasaan tak karuan, dan arah jadi kabur.
Tapi satu hal penting tentang turbulensi adalah: dia hanya terjadi saat kita sedang bergerak.
Artinya kalau hidup kita sekarang lagi berantakan, hati kacau, atau semuanya terasa berisik—itu bukan karena kita gagal. Tapi karena kita sedang dalam perjalanan. Kita sedang naik. Kita sedang bergerak menuju sesuatu yang lebih tinggi.
Turbulensi adalah tanda bahwa kita gak sedang diam di tempat.
Dan di tengah perjalanan itu, ada hal paling misterius dari semua: entanglement.
Dalam dunia kuantum, entanglement adalah keadaan di mana dua partikel bisa saling terhubung secara instan, walaupun jaraknya berjuta-juta kilometer. Ketika satu berubah, yang lain juga ikut berubah, seolah mereka tetap “berhubungan”, meski tak terlihat.
Dan jujur, bukankah hubungan manusia juga begitu?
Pernah gak kita ngerasa masih terhubung sama seseorang, padahal kalian udah gak saling bicara lagi? Atau tiba-tiba kepikiran seseorang, lalu gak lama kemudian dia hubungi kita? Atau kita masih ikut senang saat dia bahagia, padahal kita bukan lagi bagian dari hidupnya?
Itu bukan cuma perasaan random.
Mungkin, kalian pernah terikat secara batin, layaknya dua partikel yang pernah berbagi ruang dan waktu. Dan ketika kalian berpisah, keterikatan itu gak serta-merta hilang. Ia tetap ada. Di balik batas logika dan jarak.
Kita gak bisa ngelak dari kenyataan bahwa beberapa orang akan selalu “nyangkut” di frekuensi (yang sama dengan) kita. Mereka pernah punya tempat dalam hati kita, dan dalam bahasa semesta, itu cukup untuk menciptakan semacam entanglement emosional.
Bukan berarti kita gak bisa move on, tapi kita mengakui bahwa pernah ada bagian dari diri kita yang beresonansi dengan mereka.
Dan… itu gak apa-apa.
Dalam ilmu fisika, energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan. Dia hanya berubah bentuk.
Begitu juga luka dan kenangan. Dia gak selalu bisa dihapus. Tapi dia bisa diubah: jadi pelajaran, jadi kekuatan, jadi alasan untuk terus bertumbuh.
Karena sesungguhnya, yang bikin kita dewasa bukan waktu, tapi apa yang kita alami selama waktu itu berjalan.
Di dunia kuantum, tidak semua hal bisa diprediksi. Tapi justru di situlah letak keindahannya. Karena kalau segalanya bisa ditebak, maka gak ada perjuangan yang tulus, gak ada keberanian yang murni, dan gak ada harapan yang hidup.
Kita adalah manusia—makhluk kecil yang hidup di semesta yang luas dan rumit. Tapi justru karena kita kecil, kita bisa belajar rendah hati. Belajar menerima bahwa tidak semua hal harus dikendalikan. Bahwa kadang, bertumbuh berarti berani percaya pada proses, bukan pada hasil.
Jadi kalau hari ini kita masih melangkah, walau pelan…
Kalau kita masih bangun pagi dan tetap mencoba…
Kalau kita masih mau percaya meski semua belum jelas…
Itu tandanya kita sedang tumbuh.
Dan jika kita merasa masih terikat pada seseorang atau sesuatu dari masa lalu, jangan selalu anggap itu kelemahan. Mungkin itu bentuk paling jujur dari hati manusia—yang kadang tetap beresonansi, meski frekuensinya sudah berbeda.
Karena seperti partikel dalam dunia kuantum:
Kita semua terhubung, jauh lebih dalam dari apa yang bisa dilihat mata.
Dan pada akhirnya nanti, kita akan mengerti:
Hidup bukan tentang menghindari turbulensi, tapi tentang belajar terbang bersamanya dan bagaimana menghadapinya.
Karena seperti aliran udara yang kacau dalam turbulensi, perjuangan hidup pun sering datang dalam bentuk yang gak kita duga—penuh benturan, penuh arah yang berubah-ubah. Tapi justru di sanalah karakter kita ditempa. Kita belajar bertahan bukan saat semuanya tenang, tapi saat segalanya goyah. Menandakan kita sedang bergerak; hidup
Hidup juga bukan tentang keluar dari zona kuantum, tapi tentang bertahan di dalamnya—di ruang penuh ketidakpastian, saat semua jawaban belum ada.
Zona kuantum mengajarkan kita bahwa kadang kita harus berani tetap melangkah, meski kemungkinan gagal dan berhasil terjadi bersamaan. Kita bisa takut sekaligus berharap. Bisa lelah sekaligus percaya. Dan itu gak apa-apa. Karena justru di situlah kita tumbuh: di tengah ketidaktahuan, bukan kepastian.
Dan soal keterikatan, entanglement bukan kelemahan. Itu adalah bukti bahwa pernah ada koneksi yang nyata.
Dalam hidup, kita juga mengalami bentuk entanglement emosional—terhubung dengan orang-orang yang pernah hadir, yang pernah kita perjuangkan. Walau jarak memisahkan, sebagian rasa tetap tinggal. Tapi bukan untuk menghambat langkah, melainkan untuk mengingatkan bahwa setiap hubungan yang tulus pernah memberi arti, dan dari situ kita belajar menjadi lebih bijak.
Leave a Reply
View Comments