Pernah gak sih, kamu duduk di depan laptop, tugas sudah dibuka, niatnya mau ngerjain. Tapi entah kenapa, tangan malah otomatis buka YouTube. Lalu “cuma lima menit deh nonton satu video biar mood dulu.” Lima menit berubah jadi setengah jam. Setengah jam jadi dua jam. Eh tahu-tahu udah malam, tugas belum dikerjain, panik pun datang. Dan siklus itu terus terulang kayak playlist lagu galau yang gak bisa move on. Kenapa sih kita suka banget nunda-nunda sesuatu yang padahal penting? Apa kita males? Atau sebenernya ada yang lebih dalam dari itu?
Jawabannya: iya, ada. Dan sains punya banyak hal menarik buat diungkap soal kebiasaan menunda ini. Ternyata, kebiasaan menunda-nunda alias procrastination bukan cuma soal malas atau gak niat. Ini lebih kompleks dari sekadar “gak ada motivasi” atau “kurang disiplin.” Ini soal otak, emosi, kebiasaan, dan bahkan trauma kecil yang gak kita sadari. Yuk kita bongkar bareng-bareng.
Procrastination sering disalahpahami sebagai masalah waktu. Padahal, menurut para ahli psikologi, itu adalah masalah emosi. Ketika kita harus mengerjakan sesuatu—entah itu tugas kuliah, kerjaan kantor, atau sekadar membereskan kamar—otak kita langsung melakukan evaluasi cepat: “Apakah hal ini menyenangkan atau bikin stres?” Kalau jawabannya adalah “bikin stres”, maka otak akan secara refleks mencari jalan keluar, alias kabur. Dalam bentuk apa? Ya dalam bentuk scroll TikTok, rebahan, ngemil, atau nonton satu episode drama Korea yang tahu-tahu berubah jadi satu season.
Kenapa begitu? Karena menurut Dr. Joseph Ferrari, profesor psikologi dari DePaul University,otak kita punya bagian bernama amigdala, si penentu respons emosional. Saat kita merasa tertekan, cemas, atau takut gagal, amigdala jadi aktif banget. Dia kasih sinyal bahaya ke seluruh tubuh, seolah bilang, “Wah, tugas ini bikin stres! Hindari!” Nah, di sinilah peran prefrontal cortex seharusnya muncul. Bagian otak ini bertugas untuk mikir panjang, bikin keputusan rasional, dan ngatur prioritas. Sayangnya, prefrontal cortex butuh usaha lebih buat aktif, apalagi kalau kita lagi lelah, bosan, atau emosional. Jadi akhirnya, amigdala menang. Kita kabur dari tugas itu, dan bersembunyi di balik distraksi kecil yang terasa nyaman dan aman.
Ada juga penjelasan menarik dari dunia behavioral economics yang disebut “time inconsistency.” Konsep ini dijelaskan oleh Dr. Hal Hershfield, pakar perilaku dari University of California, Los Angeles **(**UCLA), yang menyebut bahwa kita sering kali lebih memprioritaskan kesenangan jangka pendek, meskipun tahu itu bakal nyusahin kita di masa depan. Misalnya, kita tahu kalau nunda-nunda tugas bakal bikin begadang dan stres. Tapi tetap aja, saat ini, nonton video lucu terasa jauh lebih menyenangkan daripada menatap ngerjain tugas-tugas. Otak kita memprioritaskan kesenangan yang instan dibandingkan hasil jangka panjang. Padahal, secara logika, kita tahu bahwa nyelesain tugas lebih penting. Tapi otak gak selalu rasional, apalagi kalau berurusan dengan emosi.
Yang menarik, procrastination juga sering muncul karena standar yang terlalu tinggi. Yup, kamu gak salah baca. Banyak dari kita nunda pekerjaan karena takut hasilnya gak sempurna. Jadi, daripada kecewa atau merasa gagal, lebih baik… ya, gak ngerjain dulu deh. Ini disebut “perfectionist procrastination.” Kita punya ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri, dan ketika merasa gak bisa memenuhi ekspektasi itu, kita malah memilih untuk gak mulai sama sekali. Ini kayak seseorang yang pengen bikin lukisan bagus banget, tapi karena takut hasilnya jelek, akhirnya gak pernah mulai gambar. Padahal, tanpa mulai, gak akan pernah tahu sejauh mana kemampuan kita berkembang.
Gak sedikit juga dari kita yang nunda-nunda karena punya hubungan yang gak sehat dengan produktivitas. Kita merasa harus “mood dulu” buat ngerjain sesuatu, harus “inspirasi datang” baru bisa kerja. Tapi menurut buku The Now Habit karya Dr. Neil Fiore, ini adalah jebakan. Kalau nunggu mood terus, bisa-bisa gak mulai-mulai. Kenyataannya, inspirasi dan produktivitas seringkali datang justru setelah kita mulai, bukan sebelumnya. Tapi otak kita kadang keras kepala, dan bilang, “Belum siap. Nanti aja.” Dan kita manut, karena ya… itu terasa nyaman.
Selain itu, ada satu faktor yang sering gak disadari: kelelahan mental. Hidup kita sekarang padat banget. Otak dibombardir notifikasi, informasi, drama, masalah pribadi, ekspektasi orang tua, dan tekanan sosial. Semua itu menguras energi mental yang bikin kita gampang overwhelmed. Saat energi mental habis, otak jadi lebih cenderung pilih aktivitas yang gak butuh banyak mikir. Dan karena kerja atau tugas butuh konsentrasi tinggi, otomatis otak bilang, “Skip dulu, yuk healing.”
Dan jangan lupa soal reward system di otak. Ketika kita scroll media sosial atau makan coklat, otak ngasih dopamin—hormon “senang.” Tapi waktu kita ngerjain tugas yang susah dan belum kelihatan hasilnya, reward itu gak langsung datang. Ini bikin otak kita makin males mulai kerjaan yang terasa berat. Sementara dopamin instan dari hal-hal kecil seperti game, meme, atau video kucing lucu terasa jauh lebih menarik. Makanya, otak lebih tertarik sama hal-hal kecil yang langsung bikin senang, walaupun gak produktif. Ini semacam jebakan manis yang dibuat oleh otak sendiri.
Tapi, apakah kita harus pasrah dan terus hidup dalam lingkaran penundaan ini? Tentu enggak. Karena begitu kita tahu apa yang terjadi di balik layar—alias di balik otak kita sendiri—kita bisa mulai ngatur strategi.
Salah satu cara efektif yang saya sering praktikan untuk mengatasi procrastination adalah dengan mengubah cara kita melihat tugas atau chunking, yaitu memecah tugas besar jadi potongan kecil. Menurut James Clear, penulis buku Atomic Habits, otak kita lebih semangat kalau tugas terasa ringan dan terjangkau. Coba pecah tugas besar jadi potongan kecil. Otak lebih senang dengan hal-hal yang terasa bisa dicapai. Misalnya daripada bilang “aku harus ngerjain makalah 10 halaman,” coba ganti jadi “aku cuma perlu buka dokumen dan nulis satu paragraf.” Kedengarannya lebih ringan, dan otak pun gak langsung defensif.
Trik lainnya adalah teknik “5 menit aja,” yang direkomendasikan oleh praktisi produktivitas, Mel Robbins**.** Prinsipnya sederhana: paksa diri buat mulai ngerjain tugas itu selama 5 menit. Setelah itu bebas, mau lanjut atau enggak. Tapi dalam banyak kasus, begitu kita mulai, kita akan lanjut terus. Karena ternyata, yang paling berat itu bukan ngerjain tugasnya, tapi mulai. Begitu mulai, setengah beban hilang.
Hal kecil lain yang bisa membantu adalah dengan mengenali pola emosi kita sendiri. Kapan kamu biasanya nunda? Apa karena takut hasilnya jelek? Karena lelah? Karena takut gagal? Begitu kita bisa mengenali sumbernya, kita bisa kasih respons yang lebih sehat ke diri sendiri. Misalnya, saat kamu sadar kamu nunda karena takut gak sempurna, coba bilang ke diri sendiri, “Aku gak harus sempurna. Aku cuma perlu mulai.”
Dan terakhir, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Procrastination itu manusiawi. Semua orang pernah ngalamin. Bahkan penulis, seniman, profesor, dan profesional sukses pun pernah nunda-nunda. Yang penting adalah bukan menghilangkan kebiasaan itu total, tapi belajar mengelolanya. Setiap kali kita sadar kita lagi nunda, itu momen penting. Karena kesadaran itu langkah pertama untuk berubah.
Jadi, kalau kamu lagi duduk, ngerasa bersalah karena nunda-nunda tugas, tarik napas sebentar. Bukan karena kamu malas. Tapi karena otakmu sedang berusaha menghindari stres. Dan kamu bisa pelan-pelan melatih otakmu untuk tetap jalan, walau gak harus sempurna. Karena produktivitas bukan soal selalu sibuk, tapi soal terus bergerak, walau pelan, dan tetap bertumbuh. Mulai dari satu paragraf. Satu baris. Satu langkah kecil. Karena dari situlah, perubahan besar dimulai.
Sangat bermanfaat dan menginspirasi. Terimakasih alhamdulillahi jazaa kumullahu khoiro 🙏