Oleh: Faqihna
Aku bukan tipe orang yang suka pagi.
Buatku, pagi itu terlalu bising, terlalu cepat, dan terlalu penuh kewajiban.
Tapi pagi itu beda.
Pagi itu… ada sesuatu yang berubah — hanya karena secangkir kopi pahit dan seseorang yang tak sengaja duduk di meja yang sama denganku.
**
Hari itu, aku terlambat bangun — lagi.
Seperti biasa, aku ngacir ke halte bus tanpa sempat sarapan. Rambutku berantakan, jaketku belum dikancing, dan mood-ku sudah hancur sebelum jam tujuh.
Sambil menunggu bus yang entah kenapa selalu datangnya kayak keong, aku memutuskan masuk ke kedai kopi kecil di seberang jalan. Kedai itu bukan kafe fancy kayak di Instagram, cuma bangunan tua dengan papan nama sedikit miring bertuliskan “Kopi Kita”.
Pas aku buka pintu, lonceng kecil di atasnya berdenting pelan.
Aroma kopi yang kuat langsung menyambut, sedikit mengobati bad moodku.
Aku langsung menuju kasir.
“Hitam, tanpa gula,” kataku singkat.
Barista mengangguk sambil menyiapkan.
Tak sampai lima menit, aku sudah duduk di pojokan dengan segelas kopi hitam yang mengeluarkan asap tipis.
Aku baru mau menyeruput saat seseorang tiba-tiba mendekat.
“Maaf… boleh numpang duduk? Semua meja penuh,” katanya.
Aku mendongak.
Dia — seorang cewek dengan rambut dikuncir asal, hoodie kebesaran, dan ransel yang tampak berat.
Matanya bengkak, seolah baru saja selesai menangis semalaman.
Aku mengangguk canggung.
“Silakan,” kataku.
Dia duduk, membuka laptop, dan menghela napas panjang — napas seseorang yang kelihatan capek, tapi tetap berusaha bertahan.
**
Beberapa menit berlalu dalam keheningan canggung.
Aku berpura-pura sibuk dengan HP, dia berpura-pura sibuk dengan laptopnya.
Sampai akhirnya, tanpa sadar, aku bertanya:
“Berat, ya?”
Dia menoleh, kaget.
“Apanya?”
Aku mengedikkan dagu ke arah ranselnya.
“Kayaknya berat banget tuh.”
Dia menatap ransel, lalu ketawa kecil. Pertama kalinya aku lihat dia tersenyum sejak masuk tadi.
“Isinya tugas-tugas, skripsi, harapan palsu… semuanya ada,” katanya sambil bercanda.
Aku ikut tertawa, merasa suasana sedikit mencair.
“Kopi kamu pesen apa?” tanyaku, sekadar basa-basi.
“Latte, ekstra manis,” jawabnya. “Biar hidup yang pahit ini ada manis-manisnya dikit.”
Aku mengangkat gelas kopiku.
“Kalau aku… kopi pahit, supaya tahu rasanya kenyataan.”
Dia terkekeh.
“Wih, dalam banget. Cocok buat dijadiin caption Instagram.”
Aku pura-pura mengangkat alis sok keren.
“Silakan dipakai, gratis.”
**
Obrolan kecil itu berubah jadi panjang.
Ternyata dia bernama Naya. Mahasiswa tingkat akhir, lagi jungkir balik menyelesaikan skripsi sambil magang di tempat yang katanya “lebih menyeramkan dari rumah hantu.”
Aku juga cerita tentang hidupku — kerja freelance yang nggak tentu, proyek-proyek yang kadang ghosting kayak mantan, dan perjuangan mencari arti hidup (yang masih belum ketemu sampai sekarang).
Aneh, ya.
Dua orang asing, ketemu tanpa rencana, bisa ngobrol kayak teman lama.
Mungkin karena sama-sama lelah.
Mungkin karena sama-sama butuh tempat buat berhenti sejenak.
Atau mungkin… karena semesta memang suka iseng mempertemukan orang di waktu yang paling nggak terduga.
**
Jam di dinding berdetik cepat.
Bus yang harusnya aku naiki sudah lewat entah berapa kali.
Tapi entah kenapa, aku nggak merasa rugi.
Kopi di cangkirku sudah dingin, tapi hatiku… malah terasa hangat.
Naya menutup laptopnya, menatapku.
“Thanks, ya,” katanya.
“Untuk apa?”
“Untuk… jadi manusia baik di pagi yang buruk,” katanya sambil tersenyum kecil.
Aku mengangkat bahu, berusaha santai.
“Siapa tahu aku cuma mau pamer filosofi kopi tadi.”
Dia terkikik.
Sebelum pergi, dia menulis sesuatu cepat-cepat di tisu, lalu menyerahkannya padaku.
“Kalau mau ngobrol lagi… ini kontakku,” katanya. “Atau… kalau suatu hari kamu mau ngerasain latte manis, bukan kopi pahit mulu.”
Aku tertawa.
“Siap, siap,” kataku, mengambil tisu itu.
Dia melambaikan tangan dan pergi, meninggalkan jejak wangi parfumnya yang lembut.
**
Aku duduk diam beberapa menit, memandangi tisu itu.
Tulisan tangan Naya sedikit berantakan, ada nomor HP dan satu kalimat kecil di bawahnya:
“Kadang, orang asing cuma butuh satu kopi untuk jadi rumah.”
Aku senyum sendiri.
Mungkin, pagi itu memang ditakdirkan berbeda.
Mungkin, kopi pahit itu memang sengaja membawaku bertemu dia.
Dan mungkin… di balik semua pagi-pagi buruk dalam hidup ini, ada satu pagi yang rasanya pantas untuk dikenang.
Pagi itu.
Di kedai kopi kecil.
Dengan secangkir kopi pahit dan seorang gadis bernama Naya.
Leave a Reply
View Comments