Celana cingkrang. Foto: Generus

Celana Cingkrang

Oleh Fitri Utami Rian duduk di sebuah kafe yang terletak di sudut Jakarta Selatan. Di depannya, layar ponselnya terus bergerak, menggulir-gulir feed Instagram yang berisi foto-foto keren dari anak-anak Jaksel yang sedang hangout dengan sepatu sneaker terbaru dan hoodie oversized yang selalu jadi tren.

Ada yang sedang nongkrong dengan kopi kekinian, ada yang lagi berpose dengan pakaian yang kelihatan baru beli, dan ada juga yang terlihat baru selesai dari gym, badan kekar dengan kaos fit. Semua orang terlihat keren di sana.

Di meja pojok, Rian duduk dengan santai, menunggu temannya datang. Sudah hampir setengah jam, namun Iqbal, yang baru pulang dari Pondok Pesantren Wali Barokah di Kota Kediri, belum juga muncul. Rian mengecek lagi jam di ponselnya dan menunggu dengan sabar.

“Ah, udah lama nggak ketemu Iqbal, ya,” pikirnya. Wajah Iqbal dulu selalu biasa saja—tidak terlalu peduli dengan gaya atau tren yang sedang hits. Dulu mereka sama-sama sekolah, satu angkatan, meskipun Iqbal selalu terlihat berbeda dengan teman-temannya yang selalu up-to-date. Waktu SMA, Iqbal lebih suka mengenakan pakaian yang sederhana, kadang bahkan terlihat seperti abis pulang dari pesantren. Rian, di sisi lain, selalu menjadi bagian dari crowd yang mengejar tren terbaru.

Tapi hari ini, setelah bertahun-tahun nggak ketemu, Rian merasa sedikit penasaran. Apa sih yang berubah dari Iqbal? Bagaimana dia sekarang?

Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk. Rian mendongak dan langsung mengenali sosok yang baru saja masuk. Itu dia, Iqbal.

Iqbal tidak datang dengan penampilan yang seperti biasanya. Dia mengenakan celana cingkrang yang agak sedikit longgar, tapi tetap terlihat nyaman, dengan potongan yang tidak terlalu besar, berbeda dengan gaya tren oversized yang selama ini jadi andalan Rian. T-shirt yang dikenakannya tampak simpel, dan sandal jepit—sandal yang bahkan rasanya lebih cocok buat pergi ke pasar ketimbang nongkrong di kafe hits.

Rian mengerutkan kening, sedikit bingung. Iqbal pake celana cingkrang? Bahkan untuk orang yang baru pulang dari pesantren, gaya ini masih cukup out of place di kafe seperti ini. Semua orang yang nongkrong di sini biasanya mengenakan pakaian dengan gaya yang jauh lebih “keren” dan mengikuti tren. Iqbal tampak seperti… berada di dunia yang berbeda.

Iqbal melangkah perlahan ke arah meja Rian dan duduk di depannya, dengan senyum yang tidak berubah dari dulu. “Hai, bro! Udah lama nggak ketemu!” katanya dengan santai, menaruh tas di samping kursi.

Rian mengangguk, lalu melirik celana Iqbal lagi. “Bro, serius lo pake itu? Gimana nggak kedinginan, sih, pake celana gitu?” tanya Rian, sambil setengah tertawa dan setengah bingung. “Celana itu… kayak yang biasa dipake orang abis sholat Jumat, atau kayak orang mau pergi ke pasar deh.”

Iqbal hanya tersenyum mendengar komentar itu, tapi tetap tenang. “Lo nggak ngerti, Rian. Di pesantren, gue belajar banyak hal. Kadang, yang sederhana itu malah lebih bikin hati tenang. Lo nggak perlu selalu ngejar tren buat ngerasa nyaman, bro.”

Rian tertawa pelan. “Sederhana, bro? Lo nggak ngerasa aneh, nih? Di sini, yang dilihat orang kan gaya. Lo nggak pengen ngikutin arus? Maksud gue, ini kafe, tempat orang buat nongkrong sambil keliatan keren, bro. Jangan bilang lo nggak pengen jadi bagian dari itu.”

Iqbal hanya mengangguk, matanya terlihat tenang. “Gue justru merasa lebih tenang seperti ini, Rian. Nggak perlu ngikutin apa kata orang. Lo harus belajar jadi diri sendiri.”

Rian menghela napas panjang dan menatap Iqbal. Sebagian dari dirinya merasa bahwa Iqbal mungkin memang benar. Namun, sebagian lagi masih merasa aneh dengan penampilan temannya yang tidak seperti yang diharapkannya. “Mungkin lo bener juga,” jawab Rian pelan, tapi hatinya sedikit gelisah.

Obrolan mereka berlanjut, berpindah dari satu topik ke topik lainnya. Iqbal bercerita tentang hidupnya di pesantren—bagaimana dia belajar banyak hal di sana, bagaimana ia mulai menghargai hal-hal kecil dalam hidup, dan bagaimana dia merasa lebih baik tanpa perlu mengejar apa yang orang lain anggap penting.

Namun, saat itu juga, tak terduga sesuatu terjadi yang langsung mengubah suasana kafe.

Iqbal berdiri untuk memesan kopi. Dengan celana cingkrang yang agak mengganggu langkahnya, dia berjalan ke arah counter dengan penuh ketenangan, meskipun ada sedikit keraguan di wajahnya. Rian menatap temannya yang berjalan dengan perlahan, dan dalam hatinya, ada perasaan campur aduk. Kenapa sih gue merasa aneh?

Namun, saat Iqbal tiba di pintu keluar kafe dan melewati meja-meja lain, hal yang tidak terduga terjadi. Iqbal tersandung pada ujung matras pintu yang sedikit terangkat, dan tubuhnya langsung terhuyung ke depan. Sebelum bisa menstabilkan diri, Iqbal terjatuh ke lantai dengan posisi yang konyol, dan gelas kopi yang dipegangnya pun tumpah begitu saja—langsung membasahi celana cingkrang yang sudah agak kepanjangan itu.

Beberapa pengunjung kafe menoleh, dan tawa kecil mulai terdengar di sekitar mereka. Rian yang duduk di meja melihat kejadian itu, hampir tidak bisa menahan tawanya. Iqbal terdiam sejenak, dan dengan wajah malu, dia mencoba bangkit dengan susah payah. “Waduh, bro… kayaknya celana ini memang bukan buat lari deh,” katanya sambil tertawa canggung, mengusap kopi yang tumpah ke kakinya.

Rian hanya bisa tertawa keras. “Haha, iya bro! Keren sih, tapi lo kalau mau lari atau jalan cepat harus hati-hati, ya. Kalau enggak, bisa-bisa kejadian kayak gini lagi.”

Iqbal ikut tertawa, meskipun agak malu. “Iya, lo bener. Mungkin celana ini lebih cocok buat santai aja, deh.”

Namun, meskipun kejadian itu membuat seluruh kafe tertawa, Rian merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Biasanya, dia akan merasa aneh atau mengkritik orang yang tampak keluar dari tren. Tapi kali ini, dia melihat Iqbal dengan cara yang berbeda. Iqbal, yang meskipun jatuh dan sedikit konyol, tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Dia tetap tertawa, tetap tenang, dan tetap menerima dirinya apa adanya.

Rian menghela napas dalam, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar mengikuti tren dan tampil keren. Mungkin, kenyamanan dalam diri sendiri itu lebih berarti.

Iqbal yang sudah kembali duduk di meja, hanya tersenyum kecil dan berkata, “Bro, kadang lo nggak perlu dengerin apa kata orang, yang penting lo nyaman sama diri sendiri.”

Dengan perasaan baru yang tumbuh di dalam dirinya, Rian mengangguk. Mungkin Iqbal memang benar. Terkadang, menjadi diri sendiri, tanpa perlu mengubah apa yang orang lain harapkan, jauh lebih penting.