Aku duduk di ruang admission, menanti giliran dipanggil untuk verifikasi asuransi.. Foto: generus

“Admission Rumah Sakit: Opa”

Oleh Tiya Inggriyani Setiyo

Pagi itu, udara di ruang tunggu rumah sakit masih terasa dingin. Bukan hanya karena pendingin ruangan yang terus menyala, tapi juga karena suasana yang cenderung sunyi, hanya diisi suara pelan para pengunjung dan sesekali panggilan nomor antrean dari pengeras suara.

Aku duduk di ruang admission, menanti giliran dipanggil untuk verifikasi asuransi. Tanganku memegang nomor antrean untuk berobat anakku yang sedang bapil. Tapi sesuatu kemudian mencuri perhatianku—dan hatiku.

Di seberang kursi tempatku duduk, seorang anak kecil bersama ibunya tampak sedang berbincang sambil menunggu. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Wajahnya lucu, polos, dan tampak sedikit lelah. Si ibu terlihat tenang, sesekali mengelus kepala anak itu.

Tak lama kemudian, si anak berbicara di depan ponsel ibunya dan dengan di loudspeaker, berkata:

“Opa… jemput aku sama bunda ya… Opa bisa jemput ga?…”

Aku terdiam.

“Oia, nanti Opa jemput. Opa siap-siap dulu yaa..”

Suara itu sederhana, polos, tapi menampar hatiku dengan lembut. Ada rasa hangat yang menjalar dari suara keduanya—dan juga luka kecil yang menganga di dalam hatiku.

Anakku… tidak punya “Opa” yang bisa ia telepon seperti itu.

Tidak ada suara laki-laki tua yang bisa menyapanya dengan tawa hangat atau berkata, “Opa segera ke sana, ya.” Tak ada panggilan video di akhir pekan, atau jemputan mendadak hanya karena rindu. Kakek dari pihak ayah dan bundanya sudah tiada sejak anakku masih sangat kecil. Ia tumbuh dengan mengenal satu Opa dan hanya sampai usianya kurang dari 2 tahun.

Aku menunduk, mencoba menyembunyikan genangan yang mulai memenuhi mata.

Bukan karena iri, tapi karena rindu. Rindu akan sosok yang bahkan aku sendiri tak bisa berikan untuk anakku. Rindu akan kenangan yang seharusnya ia miliki—tentang duduk di pangkuan Opa, tentang main mobil-mobilan di teras, tentang mendengar dongeng dari suara yang sudah mulai parau tapi penuh cinta.

Pagi itu, di ruang admission rumah sakit, aku belajar bahwa kehilangan bisa datang dalam bentuk yang sangat halus. Bukan hanya karena tak ada, tapi karena tak pernah sempat ada.

Dan aku sadar, menjadi orang tua bukan hanya tentang menjadi cukup, tapi juga tentang menerima bahwa kita tak bisa memberikan segalanya.