Kompasiana oleh Rully Kuswahyudi
Mata Saiman (bukan nama sebenarnya), jemaah haji asal embarkasi Jakarta tahun 2009 berbinar saat bercerita tentang pengalamannya yang baru saja dialami di Masjidil Haram. Teman-teman sekamar di hotel di Kawasan Aziziyah Junubiyah mendengar dengan takjub pengalaman Saiman tersebut.
Saiman bercerita sambil membuka kain ihram bagian atasnya dan menyeka peluh yang membasahi tubuhnya. Sementara teman-temannya menunggu dengan tidak sabar cerita lanjutan Saiman. Mencium Hajar Aswad merupakan impian hampir semua umat Islam.
Ia melanjutkan ceritanya, bagaimana pertolongan Allah begitu terasa saat dia ingin sekali mencium Hajar Aswad. “Saya dari tanah air memang sudah memendam cita-cita ingin mencium Hajar Aswad. Saya doa terus agar bisa terlaksana saat melaksanakan haji, alhamdulillah di umroh pertama dan di putaran pertama itu bisa kelakon (terjadi-red Jawa)
Dikutip dari situs Kemenag Republik Indonesia, Hajar Aswad adalah batu hitam dari surga yang terletak di salah satu rukun atau tiang atau sudut Kabah. Batu itu dibingkai dalam lingkaran perak. Untuk bisa mendekat apalagi mencium batu itu bukan perkara mudah di tengah ratusan ribu jemaah yang sedang tawaf.
Untuk bisa mencium Hajar Aswad sambil memanjatkan doa, memang merupakan salah satu impian setiap jemaah haji. Namun, untuk mencapai dan mencium Hajar Aswad butuh perjuangan karena harus berdesak-desakan dengan jemaah lainnya.
Saiman lalu memantapkan hati untuk mencium Hajar Aswad. Saat tawaf umrah yang pertama dia sudah niatkan untuk bisa mencium Hajar Aswad. “Saya niat dan berdoa untuk mencium Hajar Aswad, tapi bagaimana caranya diserahkan kepada Allah, minta dimudahkan cara dan jalannya,” ucap Saiman.
Penghuni hotel dan rombongan haji serombongan haji Saiman heboh dan berkumpul di kamar Saiman yang sudah sempit, jadi makin sesak itu. Semua mendengar dengan penasaran bagaimana caranya pria paruh baya ini bisa mencium Hajar Aswad. “Cepat ceritakan caranya bagaimana Pak,” ujar salah seorang teman.
“Mulai turun dari bus saya merasa dimudahkan jalannya, langsung kami di depan pintu Kabah kira-kira jam 9 pagi. Saat itu kan saya masih ikut rombongan,” imbuh Saiman.
Saat putaran pertama itu, Saiman mengaku tekadnya sudah bulat dan semangatnya membara untuk mencium Hajar Aswad. “Putaran pertama saya terpisah dari rombongan, awalnya saya panik, tapi saya tenangkan diri mungkin ini jalan mencium Hajar Aswad,” ujar Saiman sambil meneguk air.
“Lalu saya berjalan mengelilingi Kabah sambil membaca doa. Saya seperti dibukakan jalan, saya mendekati Kabah, lautan manusia seperti dipiyak (dibelah) seolah membuka jalan untuk saya. Tidak ada yang rebutan, tidak berdesakan, semua seolah-olah memberi jalan pada saya,” ujar Saiman penuh haru.
Kawan-kawan yang menyesaki kamar Saiman larut dalam cerita Saiman. Banyak yang berucap “Alhamdulillah”, “Masya Allah”, “Subhanallah”.
“Jadi saya dengan mudah dan tenang bisa mencium Hajar Aswad. Alhamdulillah atas peparing (ijin-red Jawa) Allah saya bisa mencium Hajar Aswad,” ujar Saiman penuh syukur.
“Besok kawan-kawan saya ajak dan ajari caranya semoga bisa mencium Hajar Aswad ya,” lanjut Saiman pada kawan-kawan.
Saya yang mendengarkan sejak awal, penasaran dan takjub berkata, “Besok saya amal sholeh diajari dan diantar agar bisa cium Hajar Aswad ya Pak.”
Sambil menoleh ke arah saya, Pak Saiman dengan kalem berkata, “Untuk mas, saya antar khusus, besok ikuti saya dari belakang ya.”
Saya mengangguk pelan sambil berdoa dalam hati semoga dimudahkan bisa meniru Pak Saiman.
Keesokan harinya kami sekitar delapan orang bersiap ke Masjidil Harom dengan misi mencium Hajar Aswad. Dengan dipimpin mentor kami yang sehari sebelumnya bisa mencium Hajar Aswad, Pak Saiman.
Sesampainya di Masjidil Harom, Saiman mengajak kami sholah sunnah terlebih dahulu dan berdoa. Kami lakoni sesuai arahan Pak Saiman, lalu kami melakukan tawaf sunnah sambil berusaha mendekati Ka’bah. “Pegang pundak saya, kita jangan sampai terpisah. Pokoknya ikuti yang saya lakukan,” ujar Saiman penuh yakin.
Mendekati Hijir Ismail, Saiman memberi kode pada kami untuk mepet (mendekat-red Jawa) ke dinding Hijir Ismail. Dengan susah payah kami jalani dan saat sampai di sudut setelah Hijir Ismail, Saiman mencium sudut Ka’bah tersebut.
Kala itu, Saiman memerintahkan kami mencium sudut itu. Saya yang mendapati giliran paling belakang, heran sambil mengatakan “Pak, yang dicium sudut ini?”
Saiman setengah berteriak menjawab, “Ya mas, sudah cepat cium. Mumpung diberi jalan.”
Sambil berdesak-desakan saya menjawab, ”Pak, ini bukan Hajar Aswad, ini Rukun Yaman. Hajar Aswad itu di sana!”
Di tengah kerumunan orang sambil berdesak-desakan itu saya jelaskan bahwa yang Pak Saiman cium kemarin dan hari ini itu namanya Rukun Yaman. “Bukan mas, ini Hajar Aswad. Batunya warnanya hitam, dan saya lihat orang-orang juga menciumnya,” ujar Saiman mengelak.
Kami selesaikan putaran tawaf sunnah lalu kami kami menepi mencari tempat di pelataran yang tidak terlalu ramai. Pada Pak Saiman dan teman-teman serombongan kami itu, saya sedikit memberi penjelasan dan penggenahan. Bahwa yang tadi dicium itu bukan Hajar Aswad, tetapi Rukun Yaman.
Hajar Aswad adalah sebuah batu hitam yang terletak di sudut Kabah, di dalam Masjidil Haram, Mekkah. Batu ini memiliki memiliki tempat tersendiri bagi umat Islam, karena berasal dari surga.
Hajar Aswad adalah batu hitam yang terletak di sudut tenggara Kabah, tepatnya di sebelah kanan pintu Kabah, tempat dimulainya tawaf dalam ibadah haji dan umrah. Jarak antara tempat Hajar Aswad dengan lantai Kabah sekitar 1,5 meter.
Nama Hajar Aswad sendiri berasal dari bahasa Arab, di mana “Hajar” berarti batu dan “Aswad” berarti hitam.
“Nah kalau itu Hajar Aswad, lalu mana pintu Ka’bah-nya?” tanya saya pada Pak Saiman yang mulai grogi.
Saya lalu melanjutkan, keterangan bahwa dalam ibadah haji dan umrah, umat Islam memulai thawaf dari posisi Hajar Aswad. Inilah titik awal dalam melakukan tujuh putaran mengelilingi Kabah. “Atau kita menandai dengan garis atau lampu hijau itu adalah garis lurus dari Hajar Aswad sebagai tanda awal melakukan tawaf, gitu lho Pak,” ujar saya sambil menepuk pundak Pak Saiman.
“Saya hanya melihat orang-orang mencium sudut itu (Rukun Yaman), saya pikir itu Hajar Aswad. Lha kok kebetulan longgar lalu saya cium. Saat saya cium kok warnanya beneran hitam, saya pikir ini Hajar Aswad,” ujar Saiman sambil meminta maaf pada kawan-kawan.
Untuk itulah maka kita harus belajar dan mengaji untuk mempelajarinya agar tidak ikut-ikutan saja. Apalagi urusan ibadah.
Leave a Reply
View Comments