Menikah dikalangan sandwich generation bukanlah hal yang mudah, berusaha adil bisa dijadikan solusi. Ilustrasi:

Generasi Sandwich, Kapan Siap Nikah?

Sebuah kisah dari kamu yang masih jadi sandwich generation.

Oleh Fitri Utami

Pernah nggak sih kamu duduk sendiri di kamar, terus tiba-tiba mikir: “Aku ini siap nikah nggak, ya?” Tapi bukan karena takut soal cinta atau komitmen—kamu udah nemu orang yang klik, yang baik, yang satu visi.

Yang bikin kamu ragu justru ini: kamu masih jadi penopang keluarga. Masih bantu bayar listrik rumah orangtua. Masih transfer uang bulanan buat adik kuliah. Masih ikut mikirin pengobatan ayah, cicilan motor ibu, dan semuanya.

Lalu kamu ngebayangin nanti kalau udah nikah, apa aku masih bisa bantu orangtuaku? Gimana kalau pasanganku keberatan? Apa aku akan dianggap nggak bertanggung jawab kalau aku minta stop dulu bantuin mereka?

Kamu bukan egois. Kamu cuma manusia. Dan yang kamu rasain valid banget. Banyak banget di antara kita yang jadi generasi yang unik. Generasi yang tumbuh di antara orangtua yang belum sepenuhnya aman secara finansial, dan realita hidup zaman sekarang yang serba mahal. Kita dibesarkan dalam cinta, tapi juga dalam kekurangan.

Dan ketika waktunya kita membangun hidup sendiri, kita masih harus “narik tali” ke belakang. Itu kenapa kamu ngerasa kayak terjepit. Kayak nggak bisa jalan maju, tapi juga nggak bisa tinggal diam. Kamu ingin bahagiain pasangan hidup, tapi nggak tega ninggalin orangtua yang udah setengah hidup ngerawat kamu. Sering banget kita denger: “Nikah aja dulu, nanti juga ada rezekinya.” Kalimat ini comforting, tapi jangan sampai meninabobokan.

Rasulullah ﷺ justru ngajarin kita buat nikah kalau emang udah mampu. Bukan cuma secara fisik dan iman, tapi juga finansial.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ، فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu (secara finansial dan fisik), maka menikahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mampu itu bukan berarti kamu harus kaya raya. Tapi kamu paham konsekuensi nikah itu banyak. Ada tempat tinggal yang harus disiapkan, makanan yang harus disediakan, dan pasangan yang harus dijaga lahir batinnya.

Dan kamu tahu, menikah itu bukan menutup pintu lama dan membuka pintu baru. Tapi justru nambah pintu. Jadi wajar kalau kamu ngerasa berat. Karena kamu nambah tanggung jawab, bukan ganti.

“Tapi Aku Nggak Mau Jadi Anak Durhaka” Tenang. Nggak ada yang nyuruh kamu berhenti berbakti. Islam meninggikan posisi orangtua. Bahkan satu ayat penuh menyandingkan perintah menyembah Allah dengan berbuat baik kepada mereka.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23)

Tapi… berbakti bukan berarti kamu harus mengorbankan pernikahanmu sepenuhnya. Nggak harus semua penghasilanmu dialihkan. Nggak harus setiap keputusan rumah tanggamu dikontrol keluarga besar.

Bakti itu soal niat, perhatian, dan kasih sayang. Bukan soal nominal transfer tiap bulan. Dan penting banget buat kamu tahu: pasanganmu juga punya hak. Rumah tanggamu juga harus dijaga.

إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya dirimu punya hak atasmu, keluargamu punya hak atasmu, maka berikanlah setiap orang yang memiliki hak, haknya.” (HR. Bukhari) Ini yang kadang bikin konflik: kita nganggep kalau pasangan kita keberatan kita bantu orangtua, berarti dia egois. Padahal bisa jadi… dia cuma butuh kejelasan. Kalau sejak awal kamu terbuka soal kondisi keuangan, soal prioritas, soal batas bantuan ke keluarga—pasanganmu mungkin akan jauh lebih bisa nerima.

Tapi kalau semuanya kamu simpan, atau kamu bilang “Aku bantu keluarga, kamu harus ngerti” tanpa komunikasi, ya wajar dia ngerasa nggak dianggap. Menikah itu tentang transparansi. Bukan saling curiga, tapi saling jujur. Pasangan kamu bukan lawan dari perjuanganmu. Dia justru bisa jadi teman seperjalanan, asal kamu ajak dia dari awal.

So, Harus Gimana? Kamu nggak harus milih satu dan ninggalin yang lain. Kamu bisa tetap bantu orangtuamu—dengan batas yang kamu dan pasangan sepakati. Kamu bisa tetap jadi pasangan yang perhatian—dengan cara bikin rumah tangga kalian sehat secara komunikasi dan finansial.

Kuncinya satu: keadilan. Dan Allah cinta sama orang-orang yang adil.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Ma’idah: 42)

Bilang sama pasangan: “Aku masih punya tanggung jawab ke orangtuaku. Tapi aku juga nggak mau rumah tangga kita jadi korban. Aku ingin kita jalanin ini bareng. Kita atur bareng. Kita bangun strategi bareng.”

Bilang juga sama orangtua: “Aku akan terus bantu semampuku. Tapi izinkan aku juga bangun hidupku sendiri. Doakan aku bisa jadi tulang punggung yang lebih kuat lagi nanti.”

Dan Kalau Kamu Masih Bingung… Nggak apa-apa. Ini proses. Nggak semua orang langsung tahu jawabannya. Tapi yang penting, kamu sadar. Kamu peduli. Kamu mikir jauh ke depan. Karena banyak orang yang nikah cuma karena cinta, lalu bubar karena nggak siap.

Tapi kamu? Kamu mikir. Kamu belajar. Kamu lagi berjuang buat jadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Dan itu luar biasa banget.

Jadi, buat kamu yang lagi berdiri di antara dua cinta—yang ingin terus berbakti, tapi juga ingin membangun rumah tangga sendiri—percaya deh, kamu luar biasa. Kamu bukan egois. Kamu cuma sedang belajar membagi cinta dengan bijak. Dan itu nggak mudah. Tapi kamu mau berusaha, dan itu udah bukti kalau kamu orang yang penuh tanggung jawab.

Semoga kamu bisa menyusun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bukan dengan meninggalkan siapa pun, tapi dengan menyelaraskan semuanya.

Kamu keren, wahai anak sandwich.

Tetap semangat ya