Oleh Galant Prabajati
Sebagaimana ditulis Tan Malaka dalam Madilog: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.”
Kalimat sederhana ini menyimpan makna besar. Pendidikan sejatinya bukan hanya urusan menjejalkan rumus, menghapalkan tanggal sejarah, atau mengejar ijazah. Ia adalah proses panjang membentuk manusia agar berpikir jernih, punya kemauan yang kokoh, sekaligus memiliki perasaan yang halus.
Bayangkan bila ketiga hal itu menyatu dalam diri seorang pemimpin. Ia bukan hanya piawai merancang strategi politik, tapi juga mampu membaca denyut bangsanya dengan hati. Ia berani berjuang demi kesejahteraan rakyat, sekaligus memastikan setiap kebijakan tetap manusiawi. Inilah pemimpin yang tidak sekadar menguasai teori, melainkan memahami realitas hidup rakyat kecil: para petani yang cemas menunggu panen, pedagang yang berjibaku melawan harga sewa, atau buruh yang mengandalkan upah harian untuk menyambung hidup.
Kecerdasan sejati, pada dasarnya, bukan tentang merasa paling pintar. Justru semakin cerdas seseorang, semakin rendah hatinya untuk terus belajar. Pemimpin yang benar-benar cerdas paham bahwa angka dalam tabel ekonomi bukan sekadar statistik, melainkan wajah-wajah manusia yang tengah berjuang. Karena itu, baginya kebijakan publik tidak boleh sekadar jadi tumpukan aturan formal, tetapi harus menjadi jalan untuk menjaga kehidupan sehari-hari masyarakat.
Jabatan publik pun tidak bisa dipandang hanya sebagai kursi politik yang bergengsi. Ia adalah amanah peradaban. Maka, standar seorang pemimpin haruslah tinggi:
- Wawasan sejarah dan kebudayaan bangsanya agar tidak tercerabut dari akar.
- Literasi global agar tidak gagap menghadapi dunia yang terus berubah.
- Kemampuan berdialog agar mampu meyakinkan dan merangkul publik.
- Integritas moral agar tetap tegak di tengah godaan kekuasaan.
Tentu, pendidikan formal yang tinggi punya peran penting. Namun, pemimpin sejati tidak lahir dari gelar semata. Ia juga ditempa oleh pengalaman hidup, kepekaan sosial, dan kebiasaan berpikir kritis. Justru dari keseharian itulah lahir kepekaan—saat menyapa rakyat kecil, mendengar keluhan mereka, dan ikut merasakan denyut hidup mereka.
Di era sekarang, ketika dunia kian kompleks dan informasi berlimpah, pemimpin tidak bisa lagi hanya mengandalkan popularitas. Ia harus mampu membaca data dengan tajam, berempati kepada publik, berpikir logis, serta berkomunikasi dengan baik. Tanpa itu, popularitas hanya jadi kemasan kosong.
Tan Malaka pernah menegaskan: pendidikan adalah jalan peradaban. Dari pendidikanlah lahir manusia yang utuh, dan dari manusia-manusia itulah lahir pemimpin yang mampu membesarkan bangsa tanpa kehilangan jati dirinya. Pemimpin semacam inilah yang kita butuhkan—bukan sekadar untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan yang lebih adil, cerdas, dan manusiawi.
Leave a Reply
View Comments