generus indonesia
Ilustrasi demo.

Komunikasi Publik yang Buruk Bisa Picu Rakyat vs Aparat

Oleh Sabila Esfandiar

Belakangan ini, ruang publik kita dipenuhi dua hal yang bikin kepala geleng-geleng dan dada sesak: komunikasi publik pejabat yang buruk dan nurani para pemimpin yang seolah hilang entah ke mana. Dua hal ini bukan sekadar soal citra, tapi berdampak langsung pada persepsi rakyat dan cara masyarakat merespons kebijakan. Reaksinya pun makin keras: dari demonstrasi di Kabupaten Pati hingga aksi menolak kenaikan gaji DPR RI.

Fenomena ini menunjukkan jarak yang semakin lebar antara penguasa dan konstituennya. Pejabat tampak hidup di dunia berbeda dari rakyat. Contoh paling dekat: Bupati Pati, Sudewo. Alih-alih menjelaskan secara sederhana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, ia menantang rakyat untuk demo:

“Jangankan 5 ribu, 50 ribu orang demo pun tidak akan membatalkan kebijakan PBB.”

Ini bukan sekadar salah ucap. Komunikasi publik pejabat seharusnya jadi jembatan, bukan bensin yang menyulut api kemarahan. Saat rakyat panik karena biaya hidup membengkak, jawaban berupa tantangan tentu menimbulkan kemarahan. Demonstrasi pun meledak.

Kasus lain yang lebih memukul: jogetnya anggota DPR di ruang sidang menyambut kenaikan gaji dan tunjangan mereka. Di tengah rakyat yang masih menjerit soal harga bahan pokok, biaya sekolah, dan akses kesehatan, pejabat bersorak-sorai seperti habis dapat doorprize. Sikap ini menunjukkan betapa nurani telah tumpul. Wajar jika publik marah.

Parahnya, bentrokan sering terjadi antara rakyat dan aparat. Padahal aparat—polisi, misalnya—seharusnya menjaga keamanan, bukan menanggung akibat komunikasi buruk pejabat atau nurani mati politisi. Rakyat bersuara, aparat menjalankan tugasnya. Drama pun tak terelakkan. Semua ini bisa dihindari jika pejabat bijak berkomunikasi dan punya empati.

Di sinilah peran generasi muda menjadi krusial. Kita tidak boleh cuma penonton atau komentator di Twitter dan TikTok. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Kritis tapi elegan. Bersuara dengan kreatif dan damai: meme, konten edukasi, video singkat—kritik bisa disampaikan tanpa turun ke jalan.
  2. Melek informasi. Jangan mudah terprovokasi. Bedakan fakta, framing, dan hoaks. Jadi filter informasi, bukan penyebar api.
  3. Dorong transparansi. Manfaatkan teknologi digital untuk mengawal kebijakan: petisi daring, forum publik, atau diskusi online.
  4. Bangun empati sosial. Kalau pejabat kehilangan nurani, generasi muda jangan ikut kebablasan. Tampilkan kepedulian: lingkungan, teman, bangsa.

Sejarah bangsa ini penuh contoh bagaimana komunikasi buruk dan nurani mati berakhir pada krisis tanpa tepi. Kini kita menyaksikan babak baru dari drama lama itu.

Generasi muda harus sadar: masa depan bangsa ada di tangan kita. Kita tidak boleh permisif terhadap pejabat lalai. Kita harus tetap bersuara, kritis, dan peduli. Demokrasi bukan hanya hak pejabat berkuasa, tapi hak rakyat untuk didengar. Kalau pejabat lupa, generasi muda yang harus mengingatkan—dengan cara cerdas, beradab, dan tetap penuh harapan bahwa nurani di negeri ini belum benar-benar beku.