generus indonesia
Aminto, warga LDII dari Dusun Gelaran II, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: generus

Rahasia Lele Tanpa Amis dari Gunungkidul

Di halaman rumahnya di Dusun Gelaran II, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Aminto bersama para pengurus DPP LDII, berdiri di tepi kolam yang airnya keruh kecokelatan. Sekilas tak ada yang istimewa, kolam itu sama seperti kolam budidaya lele pada umumnya: air keruh nan pekat, dan gerakan ikan yang sesekali mencipratkan air ke tepian.

Namun ada satu hal yang membuat siapa pun terheran-heran: tidak ada bau amis menyengat yang biasanya menusuk hidung ketika berada di dekat kolam lele.

Aminto, warga LDII setempat, sudah lebih dari lima tahun membudidayakan lele di rumahnya. Total ada lima kolam permanen dengan luas lebih dari 100 meter persegi, satu kolam terpal berdiameter enam meter, dan enam kolam beton kecil di sekeliling rumah.

Di kolam-kolam itu, lebih dari 10 ribu ekor lele tumbuh setiap siklusnya. “Mau dicari amisnya, ya tidak ada,” ujarnya sambil tersenyum, ketika rombongan DPP LDII berkunjung pada pertengahan Agustus lalu.

Rasa penasaran para pengurus DPP LDII kian menguat, ketika Aminto menahan diri untuk mengungkapkan rahasia budidaya kolam lele tanpa aroma tak sedap itu, “Nanti saja, setelah makan malam,” katanya. Ikan lele hasil budidayanya telah disiapkan di dapur, lengkap dengan nasi hangat dan teh manis. Sebagai pembanding, ia juga menyediakan lele lokal dari peternak lain.

Menjelang pukul 19.00, lauk utama itu akhirnya tersaji. Lima anggota rombongan DPP LDII bersama dua orang dari DPW LDII DIY mengelilingi meja makan. Hasilnya membuat semua terdiam: daging lele goreng itu benar-benar tak berbau amis. Bahkan setelah suapan kedua, ketiga, hingga mereka tak ragu menambah porsi. Sementara lele lokal yang disajikan sebagai pembanding tetap meninggalkan aroma amis yang akrab di hidung.

Baru setelah perut kenyang, Aminto mulai bercerita. Rahasianya sederhana tapi tak biasa: jamu.

Aminto meracik ramuan dari empon-empon: jahe, temulawak, kunyit putih, serta belimbing hijau. Semua bahan ditumbuk, diperas, kemudian difermentasi hingga menjadi cairan berwarna cokelat keruh. Cairan itulah yang ia sebut sebagai “jamu anti amis”.

Setiap kali memberi makan, cairan jamu dicampur ke pelet pakan dan dibiarkan semalaman sebelum ditebar ke kolam. Hasilnya bukan hanya menghilangkan bau amis dari air dan daging ikan, tetapi juga membuat lele lebih lahap makan dan tumbuh cepat. Kanibalisme yang sering jadi masalah utama budidaya lele pun berkurang drastis.

“Dari bibit ukuran 2-3 sentimeter sampai lele konsumsi, semuanya saya beri jamu. Hasil panen lebih banyak, lebih sehat, dan tentu lebih mahal harganya,” kata Aminto.

Keunggulan itu membuat lele Aminto jadi rebutan pedagang. Ia bercerita pernah menolak tawaran bandar yang berani membeli Rp4.000 lebih tinggi dari harga pasar. “Silakan cari di tempat lain,” ujarnya ringan.

Justru di pasar, lele hasil budidayanya selalu habis lebih dulu meskipun dijual Rp5.000 lebih mahal per kilogram dibanding lele biasa. Pembeli, kata dia, sudah tahu membedakan kualitas. “Seperti barang premium, walaupun mahal tetap dicari,” katanya.

Biaya pembuatan jamu, menurut hitungannya, relatif kecil. Untuk membuat 40 liter jamu, ia hanya mengeluarkan Rp150–200 ribu. Cairan itu cukup untuk satu bulan pemeliharaan. Dengan harga jual lebih tinggi dan tingkat kematian ikan lebih rendah, keuntungan yang didapat jauh lebih besar daripada biaya tambahan.

Tak sedikit yang awalnya meragukan metode Aminto. Ia pernah dianggap sekadar membuat “jamu abal-abal” oleh seorang profesor. Namun keraguan itu sirna setelah sang profesor diajak langsung melihat kolam dan mencicipi lele hasil panen. “Akhirnya beliau mengakui,” katanya sambil tertawa.

Cerita serupa datang dari seorang calon kepala daerah yang berkunjung ke kelompok taninya saat masa kampanye. Sang calon sampai empat kali menambah nasi karena lahap menyantap lele goreng tanpa amis itu. “Tapi ya, sampai sekarang janjinya belum ditepati,” ujarnya sambil terkekeh.

Ke depan, Aminto ingin resep jamu buatannya bisa diteliti lebih jauh, bahkan mungkin dipatenkan. Namun ia mengaku tidak sanggup mengurusnya sendiri. “Kalau ada yang mau membantu, silakan. Saya ini cuma peternak biasa,” katanya.

Bagi Aminto, yang terpenting adalah kebermanfaatan. Metode sederhana ini bukan hanya bisa meningkatkan penghasilan petani lele, tapi juga menepis stigma bau amis yang sering menempel pada budidaya lele intensif. Ia yakin, ramuan serupa bisa dikembangkan untuk ternak lain.

Malam itu, perbincangan dengan Aminto berlangsung hingga larut. Rombongan DPP LDII pulang dengan perut kenyang dan pikiran penuh tanda tanya, sekaligus kagum. Dari rumah sederhana di pinggir Gua Pindul, lahir inovasi kecil yang memberi harapan besar: membudidayakan lele tanpa amis memang bisa.