Pernah nggak sih kamu merasa suasana hati tiba-tiba berubah drastis hanya dalam hitungan menit—yang awalnya bersemangat, lalu mendadak marah, sedih, dan akhirnya merasa kosong? Atau mungkin kamu punya teman yang kelihatan sangat takut ditinggalkan, bahkan sampai melakukan hal-hal impulsif atau menyakiti diri sendiri?
Bisa jadi, mereka sedang berjuang dengan sesuatu yang disebut BPD (Borderline Personality Disorder), atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai gangguan kepribadian ambang. Tapi tenang, ini bukan tanda “gila” atau lemahnya iman ya—BPD adalah kondisi psikologis yang nyata, dan bisa dihadapi dengan dukungan serta penanganan yang tepat.
Sayangnya, banyak orang yang belum benar-benar paham soal BPD. Akibatnya, penderita sering disalahpahami, dijauhi, bahkan dianggap hanya mencari perhatian. Padahal, yang mereka butuhkan adalah empati, bukan vonis. Karena itu, penting bagi kita mengenal lebih dekat tentang BPD—mulai dari penyebab, gejala, hingga cara penanganannya.
BPD merupakan kondisi serius yang memengaruhi emosi, cara berpikir, dan perilaku seseorang. Mereka yang mengalaminya cenderung memiliki suasana hati yang berubah-ubah, citra diri yang tidak stabil, dan kadang mengambil keputusan impulsif yang bisa merugikan diri sendiri.
Fenomena ini bukan hal langka. Menurut alodokter.com, sekitar 1–4 persen orang di dunia diperkirakan mengalami BPD. Gejalanya biasanya mulai tampak pada masa remaja akhir atau dewasa muda, dan lebih sering ditemukan pada wanita.
Para ahli belum bisa memastikan penyebab tunggal BPD. Namun, ada beberapa faktor yang diyakini berperan. Trauma masa kecil, seperti pengalaman ditinggalkan, kekerasan, pelecehan, atau penelantaran, sering kali meninggalkan jejak yang panjang hingga dewasa. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis juga dapat memperbesar risiko.
Selain itu, faktor keturunan ikut diperhitungkan. Jika ada anggota keluarga yang memiliki BPD, kemungkinan orang lain dalam keluarga tersebut juga lebih rentan. Beberapa penelitian bahkan menemukan adanya perbedaan pada struktur dan fungsi otak penderita, terutama pada bagian yang mengatur emosi dan perilaku.
Namun penting dicatat, memiliki faktor-faktor ini tidak otomatis membuat seseorang pasti terkena BPD. Banyak orang yang mengalami trauma atau memiliki riwayat keluarga tetap bisa tumbuh sehat tanpa gangguan kepribadian ini.
Gejala yang Perlu Diperhatikan
BPD punya wajah yang beragam, sehingga gejalanya tidak selalu sama pada setiap orang. Ada yang sangat mudah berubah suasana hati, bisa bahagia satu menit lalu tiba-tiba marah atau sedih tanpa alasan jelas. Ada juga yang kerap merasa kosong, kesepian, atau takut ditinggalkan.
Beberapa penderita mengalami pola pikir yang mengganggu, seperti merasa dirinya tidak berharga, atau bahkan mengalami halusinasi dan delusi. Tidak jarang, muncul perilaku impulsif yang berisiko, mulai dari menyakiti diri sendiri, percobaan bunuh diri, hingga konsumsi alkohol atau perilaku seksual berisiko.
Hubungan dengan orang lain pun sering kali terasa intens tapi tidak stabil. Ada kalanya mereka menjadi sangat lengket dan takut ditinggalkan, namun di sisi lain bisa merasa tertekan bila orang lain terlalu dekat.
Kalau kamu atau orang terdekat menunjukkan gejala-gejala seperti di atas, jangan menunggu sampai terlambat. Segera ajak untuk berkonsultasi ke dokter atau psikiater. BPD bisa berbahaya bila tidak ditangani, terutama karena risiko menyakiti diri sendiri yang cukup tinggi.
Proses diagnosis biasanya dimulai dari wawancara dengan dokter, membahas gejala yang muncul, riwayat kesehatan, hingga kondisi keluarga. Kadang, dokter juga melibatkan orang terdekat untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Semua informasi ini kemudian dicocokkan dengan kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), yang menjadi standar internasional dalam menentukan diagnosis.
Tidak ada obat mujarab yang langsung menyembuhkan BPD. Namun, ada banyak cara yang bisa membantu penderita meredakan gejala dan hidup lebih baik. Psikoterapi adalah salah satu pendekatan utama. Misalnya, Dialectical Behavior Therapy (DBT) membantu seseorang belajar mengatur emosi dan berkomunikasi lebih sehat, sementara Mentalization-Based Therapy (MBT) melatih mereka untuk berpikir sebelum bereaksi. Ada juga terapi lain seperti schema-focused therapy, transference-focused psychotherapy, hingga STEPPS yang melibatkan keluarga dan teman dekat.
Obat-obatan bisa diberikan untuk menangani gejala penyerta seperti depresi atau kecemasan, biasanya berupa antidepresan, antipsikotik, atau penyeimbang suasana hati. Pada kondisi parah, perawatan di rumah sakit mungkin dibutuhkan, terutama jika ada risiko besar penderita menyakiti diri sendiri.
Pencegahan total memang sulit, tapi risiko BPD bisa dikurangi dengan lingkungan yang sehat. Keluarga berperan penting—memberikan perhatian, tidak menekan secara emosional, aktif mendengarkan, dan selalu hadir saat anak melewati masa sulit. Jika terjadi pengalaman traumatis seperti kekerasan, pelecehan, atau bullying, segera cari bantuan profesional agar luka itu tidak berkembang menjadi masalah yang lebih serius.
Memahami BPD bukan hanya soal menambah pengetahuan, tapi juga melatih empati. Gangguan ini nyata dan bisa menimpa siapa saja di sekitar kita. Dengan pemahaman yang tepat, kita bisa menjadi pendukung yang lebih baik—baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Kadang, langkah kecil seperti mendengarkan atau mengarahkan ke bantuan profesional bisa memberi dampak besar. Jadi, mari kita belajar untuk lebih peka, lebih sabar, dan lebih peduli.
Leave a Reply
View Comments