Oleh Sabila Esfandiar
Akhir-akhir ini, jagat maya Indonesia dihebohkan dengan fenomena pengibaran bendera jolly roger yang lekat dengan sebuah anime dari negeri Sakura. Kemunculannya yang bertepatan dengan momen kemerdekaan Indonesia, memantik beragam reaksi baik yang pro maupun kontra. Momen 17 Agustus yang biasa diwarnai dengan kegiatan bernuansa nasionalisme tiba-tiba dirisak dengan kemunculan bendera hitam dengan gambar tengkorak memakai topi jerami.
Reaksi pro yang mayoritas disuarakan oleh generasi muda yang menganggap pengibaran bendera bajak laut tersebut merupakan sebuah simbol kritik atas kondisi Indonesia, yang menurut mereka sedang tidak baik-baik saja. Mereka menganggap pemerintah yang katanya merupakan representasi rakyat, justru bekerja tidak dalam kapasitasnya membela kepentingan rakyat. Ketidakadilan dan kesejahteraan sosial jadi isu yang terus menghangat.
Sedangkan bagi pihak yang kontra, yang mayoritas berasal dari kalangan politisi dan pejabat pemerintah, memandang hal tersebut sebagai sebuah ancaman disintegrasi bangsa. Bendera merah putih sebagai simbol negara yang seharusnya berkibar dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia, tidak boleh digantikan dengan simbol bendera apapun. Bahkan di beberapa tempat, pendekatan yang dilakukan cenderung bersifat represif alih-alih menggunakan pendekatan persuasif.
Fenomena viral tersebut bukan semata soal “bendera”, tapi mengungkap banyak hal tentang bagaimana generasi muda hari ini memandang nasionalisme, identitas, dan budaya populer. So, pertanyaannya adalah: apakah nasionalisme anak muda sedang goyah? Atau justru sedang berkembang dengan cara yang berbeda?
Pertama-tama, kita perlu luruskan persepsi soal nasionalisme. Banyak yang masih menganggap nasionalisme itu hanya berkutat soal upacara bendera yang dilaksanakan setiap Senin pagi, menghafal sila-sila dalam Pancasila, dan fasih melantunkan lagu “Indonesia Raya” dari bait awal sampai akhir. Padahal, nasionalisme jauh lebih dalam dari itu.
Nasionalisme adalah rasa memiliki terhadap bangsa. Rasa bangga jadi bagian dari Indonesia. Rasa ingin berkontribusi, menjaga, dan memajukan negeri ini. Nah, yang jadi tantangan adalah: Gimana cara menumbuhkan rasa itu di tengah dunia yang makin global dan digital seperti sekarang?
Generasi Z dan Alpha—yang lahir di era internet super cepat, TikTok, Netflix, dan anime—punya paparan budaya yang sangat luas dan global. Mereka lebih kenal karakter anime daripada pahlawan nasional. Lebih sering terpapar budaya Korea daripada lagu wajib nasional. Bahkan terkadang lebih hafal bendera bajak laut Topi Jerami daripada bentuk bendera negaranya sendiri.
So, fenomena bendera One Piece merupakan aksi konyol atau sinyal ancaman yang patut diwaspadai?
Kalau melihat aksi pengibaran bendera One Piece dari kacamata humor ala Presiden Abdurahman Wahid, mungkin kita bisa bilang itu hanya bentuk dari “kenakalan remaja”. Toh, posisi bendera bajak laut tersebut tidak lebih tinggi dari bendera Merah Putih. Tapi kalau dilihat dari kacamata kedaulatan negara, ini adalah sinyal yang nggak bisa diabaikan. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan, “Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.” Jadi ketika masyarakat mengibarkan bendera jolly roger di wilayah Republik Indonesia maka hal tersebut tidaklah dibenarkan entah dengan alasan dan tujuan apapun.
Di satu sisi, ini bisa jadi bentuk “reaksi memberontak anak muda” yang biasa terjadi di fase pencarian identitas. Tapi di sisi lain, ini menunjukkan pentingnya pendidikan karakter dan nasionalisme yang relevan dengan dunia mereka. Anak-anak muda itu gak bisa cuma dikasih ceramah soal sejarah dan perjuangan kemerdekaan. Mereka butuh pendekatan yang masuk akal, gaya yang asyik, dan narasi yang nyambung dengan kehidupan mereka.
Nasionalisme Bisa Berjalan Beriringan Dengan Pop Culture
Here’s the thing: nasionalisme tidak bertentangan dengan kecintaan pada budaya populer. Kamu bisa jadi pengagum berat Lee Min Ho dan Cha Eun Woo Astro, sambil tetap cinta tanah air. Kamu bisa cosplay jadi Naruto atau Luffy, tapi tetap berdiri tegak dan sikap sempurna saat “Indonesia Raya” dikumandangkan. Bahkan, kalian bisa belajar banyak dari kartun anime soal perjuangan, loyalitas, keberanian, dan keadilan—nilai-nilai yang juga ada dalam semangat nasionalisme.
Masalahnya terletak bukan pada mengagumi aktor Koreanya, bukan juga pada salah satu karakter One Piecenya. Tapi pada pemisahan nilai-nilai bangsa dari dunia anak muda. Banyak yang merasa nasionalisme itu kuno, kaku, dan gak gaul. Padahal seharusnya nasionalisme itu fleksibel, bisa hadir dalam bentuk apapun, dan gak harus selalu dibungkus formalitas.
Contoh konkret? Banyak konten kreator muda Indonesia yang menyisipkan semangat nasionalisme dalam karya mereka. Ada yang membuat komik pahlawan lokal, musik bertema perjuangan dengan beat modern, sampai video-video edukatif tentang sejarah dalam bentuk animasi yang seru. That’s nationalism 4.0!
Nasionalisme Kekinian: Gaya Beda, Jiwa Sama
Nasionalisme anak muda bisa banget tampil dengan gaya baru. Gak harus pakai baju pramuka dan pidato formal. Gak harus pakai baju tentara atau polisi. Nasionalisme bisa muncul lewat:
1) Membela Indonesia di ajang internasional (seperti esports, debat, lomba karya tulis, olimpiade sains).
2) Membeli dan mempromosikan produk lokal.
3) Bikin konten yang mengangkat budaya Indonesia.
4) Belajar sejarah bangsa dari buku, film, atau game.
5) Aktif dalam kegiatan sosial dan lingkungan di komunitas.
Kalian bisa cinta Luffy, tapi juga harus tahu siapa itu Bung Tomo. Kalian boleh nonton One Piece, tapi tetap hormat saat Merah Putih berkibar. Kamu bisa nge-fans K-pop, tapi tetap hafal lagu kebangsaan. Karena nasionalisme itu bukan soal memilih budaya—tapi soal memegang identitas sambil tetap membuka diri pada dunia.
Jangan Lupa Jatidiri
Dunia global saat ini membuat kita bebas mengakses apa pun. Tanpa jarak dan batasan waktu. Kejadian di belahan bumi lain pada saat yang sama bisa kamu akses detik itu juga hanya melalui genggaman tangan. Akan tetapi, kebebasan itu harus disertai dengan kesadaran: kita berasal dari Indonesia, dan identitas itu nggak boleh lepas. Kalau kamu kagum sama Luffy yang berjuang demi impian dan teman-temannya, ingatlah: pahlawan Indonesia juga punya semangat yang sama, tapi mereka melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa ini.
Jadi kalau kalian masih bisa nongkrong di kafe, bikin konten, pakai internet tanpa sensor, itu karena ada orang-orang dulu yang mempertaruhkan nyawa mereka. Merah Putih bukan cuma warna. Itu adalah representasi dari darah dan tulang.
Anak muda adalah harapan bangsa, bukan hanya karena mereka muda, tapi karena mereka punya energi, kreativitas, dan idealisme. Tapi semua itu harus ditopang oleh satu hal: cinta pada negeri.
Kalian boleh ngefans sama siapa pun. Boleh suka budaya mana pun. Tapi jangan pernah lupakan akar, identitas, dan sejarahmu. Bendera Merah Putih mungkin tidak seterkenal jolly roger-nya One Piece di TikTok, tapi ia adalah simbol nyata dari keberadaan kita sebagai bangsa.
Ingat, Luffy bisa jadi Raja Bajak Laut. Tapi kita harus jadi Raja di Negeri Sendiri.
Btw, last but not least, kalian udah pasang bendera Merah Putih di rumah kalian masing-masing belum, guys?
keren …! insightful