Oleh: Muhammad Faqihna Fiddin
Tentu! Berikut adalah artikel lengkap dengan ucapan Ka’ab bin Malik dalam bahasa Arab dan artinya yang sudah disisipkan dengan mulus ke dalam narasi:
Kita hidup di zaman di mana kejujuran seringkali kalah pamor dengan pencitraan. Di mana minta maaf dianggap lemah, dan mengakui kesalahan dianggap memalukan. Kita dibesarkan dalam budaya “asal nggak ketahuan, berarti aman”, padahal justru di situlah awal dari kehancuran moral. Tapi coba bayangkan, di masa Rasulullah SAW, ada seseorang yang memilih jujur, meski tahu risikonya berat. Namanya Ka’ab bin Malik. Bukan orang sembarangan. Ia seorang sahabat Nabi yang dikenal taat dan saleh juga seorang veteran perang Badr. Tapi justru dari dialah, kita bisa belajar bahwa kadang jatuh itu bukan aib, asal kita berani berdiri lagi—dengan kejujuran sebagai penopangnya.
Waktu itu, Rasulullah SAW bersiap untuk perang Tabuk. Ini bukan perang biasa. Medannya jauh, panasnya menyengat, logistiknya minim, dan lawan yang akan dihadapi juga tidak main-main. Karena itu, semua laki-laki dewasa Muslim yang mampu diwajibkan ikut. Tidak ada alasan untuk tinggal kecuali punya uzur yang benar-benar syar’i. Tapi Ka’ab, meski sehat, kuat, dan mampu, justru tertinggal. Bukan karena tidak ingin, tapi karena menunda-nunda. Awalnya berpikir, “Nanti ikut menyusul,” lalu hari berganti, pasukan sudah berangkat, dan akhirnya ia benar-benar tertinggal.
Saat itu, Madinah terasa kosong. Hanya orang tua, anak-anak, dan mereka yang benar-benar punya alasan syar’i yang tertinggal. Ka’ab mulai merasa bersalah, tapi belum tahu harus berbuat apa. Ia bahkan sempat keluar rumah, keliling kota, hanya untuk menyadari betapa sunyinya Madinah tanpa mereka yang berangkat jihad. Hatinya makin sesak, tapi ia belum bisa berbuat apa-apa. Ia menunggu Rasulullah SAW pulang—dan tentu saja saat itu ia tahu, pasti akan ditanya.
Nah, di sinilah momen paling krusial. Ketika Rasulullah SAW kembali dari Tabuk, para sahabat yang tertinggal pun mulai berdatangan. Mereka minta maaf dan… banyak di antaranya berbohong. Ada yang bilang sakit, ada yang bilang unta mereka lelah, ada yang bilang kehujanan padahal matahari lagi terik-teriknya. Rasulullah SAW tidak membongkar mereka satu-satu, beliau hanya mendiamkan, menyerahkan semuanya kepada Allah. Tapi Ka’ab, beda. Dia datang, berdiri di hadapan Rasulullah SAW, dan dengan jujur mengakui bahwa ia tidak punya alasan. Ia mampu, ia sehat, ia bisa, tapi ia memilih untuk tidak ikut. Dan itu salah. Titik.
Ucapan Ka’ab di hadapan Rasulullah begitu jujur dan menyentuh. Ia berkata:
وَاللَّهِ لَوْ جَلَسْتُ عِنْدَ غَيْرِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، لَرَأَيْتُ أَنِّي سَأَخْرُجُ مِنْ سَخَطِهِ بِعُذْرٍ، وَلَقَدْ أُعْطِيتُ جَدَلًا، وَلَكِنِّي وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ، لَئِنْ حَدَّثْتُكَ الْيَوْمَ حَدِيثَ كَذِبٍ، تَرْضَى بِهِ عَنِّي، لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يُسْخِطَكَ عَلَيَّ، وَإِنْ حَدَّثْتُكَ حَدِيثَ صِدْقٍ، تَجِدُ عَلَيَّ فِيهِ، إِنِّي لَأَرْجُو فِيهِ عَفْوَ اللَّهِ
“Demi Allah, seandainya aku duduk di hadapan selain engkau dari kalangan penduduk dunia, niscaya aku akan mengira bisa lepas dari kemarahannya dengan memberikan alasan. Karena sesungguhnya aku diberi kemampuan berbicara. Akan tetapi, demi Allah, aku tahu bila aku berkata bohong hari ini untuk membuatmu ridha kepadaku, maka bisa jadi Allah akan membuatmu murka kepadaku. Namun jika aku jujur, meskipun kau akan marah, aku berharap itu akan mendatangkan ampunan Allah untukku.”
Rasulullah SAW diam sejenak. Ini sahabat dekat beliau. Tapi kebenaran adalah kebenaran. Rasulullah SAW tidak langsung memaafkan, melainkan berkata, “Tunggulah sampai Allah menurunkan keputusan tentangmu.” Dan mulailah ujian berat itu datang.
Ka’ab dipulaukan; diboikot; didiamkan; diacuhkan. Bayangin ya, dipulaukan oleh seluruh masyarakat Madinah. Tidak disapa. Tidak diajak bicara, salam pun tak dijawab. Bahkan sahabat-sahabat dekat dan keluarganya pun menjauh. Lima puluh hari penuh, Ka’ab merasa seperti hidup di dalam dunia yang sepi. Ia tetap melaksanakan salat, ia beribadah, ia menangis, tapi tidak satu pun orang berbicara padanya. Sampai suatu hari, utusan dari raja Ghassan (kerajaan Kristen saat itu) datang membawa surat. Isinya: “Kami dengar temanmu (Muhammad) telah memusuhimu. Mari datang ke kami, kami akan memuliakanmu.”
Ini godaan paling menggiurkan. Di saat ditolak oleh semua orang, ada tawaran dari negeri lain untuk dipeluk dan dimuliakan. Tapi Ka’ab membakar surat itu. Iman dan kejujurannya belum selesai diuji.
Hari ke-50, saat dunia terasa semakin gelap, turunlah wahyu dari Allah. Bukan sekadar ampunan biasa, tapi ayat Al-Qur’an yang akan dibaca sampai akhir zaman:
“Dan terhadap ketiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat mereka), hingga apabila bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit, serta mereka meyakini bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
(QS At-Taubah: 118)
Saat ayat itu dibacakan, Ka’ab langsung sujud syukur. Dunia yang sempit kembali terasa lapang. Ampunan Allah turun bukan karena dia hebat, tapi karena dia jujur. Karena ia tidak memilih jalan pintas dengan kebohongan, tapi menempuh jalan terjal penuh kesunyian hanya untuk mempertahankan satu hal: kejujuran di tengah kesalahan.
Kisah ini bukan cuma sejarah. Ini cermin. Di dunia sekarang, kita mungkin nggak akan ditinggal 50 hari oleh seluruh warga kota kalau salah. Tapi kita tahu betapa mudahnya kita tergoda untuk berbohong demi selamat, demi citra, demi nyaman sesaat. Kita tahu gimana rasanya ingin cari alasan saat telat, saat gak kerjain tugas, saat bohongin orang tua, atau saat ngilang dari tanggung jawab. Kita tahu bahwa kejujuran itu berat. Tapi kisah Ka’ab bin Malik mengingatkan: lebih berat lagi menanggung dosa karena berbohong.
Allah mencintai orang-orang yang bertobat, bukan yang pura-pura sempurna. Dan kejujuran adalah salah satu bentuk tertinggi dari pertobatan. Ketika kita jujur tentang kelemahan kita, jujur tentang kesalahan kita, kita sedang membuka jalan bagi ampunan dan rahmat Allah untuk masuk.
Ka’ab bisa saja ikut-ikutan bohong. Bisa saja cari alasan, dan Rasulullah SAW mungkin tidak akan membongkar kebohongannya. Tapi ia memilih jalan yang lebih sulit. Dan hasilnya? Namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Kesalahannya menjadi pelajaran, dan kejujurannya menjadi contoh sepanjang zaman.
Di tengah dunia yang suka menghukum orang yang salah, Islam mengajarkan bahwa orang yang salah tapi jujur itu lebih mulia daripada orang yang pura-pura benar. Kita semua pasti pernah salah. Tapi nggak semua orang berani jujur. Dan itu yang membedakan.
Jadi, ketika kamu lagi ngerasa gagal, salah, atau gak layak, ingat kisah Ka’ab. Bukan untuk menormalisasi kesalahan, tapi untuk memahami bahwa Allah itu bukan Tuhan yang mencari orang sempurna. Allah mencari orang yang mau kembali. Yang mau mengakui, bukan menyembunyikan. Yang memilih terang, meski harus melewati gelap dulu.
Dan satu hal yang paling menyentuh dari kisah ini: bukan cuma Ka’ab yang diampuni. Tapi dua sahabat lain yang juga jujur saat tertinggal perang, yaitu Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah, juga mendapat ampunan. Artinya? Kejujuran itu menular. Kejujuran itu menebar berkah. Kejujuran itu bikin langit tersenyum.
Kita mungkin gak akan tertulis dalam Al-Qur’an. Tapi kita masih bisa tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur, yang berani salah dan kembali. Dan itu lebih dari cukup. Karena ampunan Allah, jauh lebih indah daripada pujian manusia.
Seperti sabda Rasulullah SAW:
“إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (shiddiq).”
Leave a Reply
View Comments